Wajibkah Melaksanakan Ibadah Kurban ?

Soal:

Apakah setiap kaum Muslimin itu harus berkurban ? Bolehkah lima orang bersekutu dalam mengurbankan satu binatang kurban ?”

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin رحمه الله menjawab :

Udhhiyyah (hewan kurban) adalah hewan yang disembelih oleh seseorang dalam rangka beribadah kepada Allah عزّوجلّ, pada hari raya Idul Adhha dan tiga hari setelahnya. Ibadah ini termasuk diantara ibadah-ibadah yang paling afdhal (terbaik). Karena Allah عزّوجلّ menyebutkannya beriringan setelah perintah shalat dalam firman-Nya :

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkorbanlah.” (QS. al-Kautsar/108: 1-2)

Allah عزّوجلّ juga berfirman :

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. لاَ شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَاْ أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. (QS. al-An’am/6:162-163)

Nabi صلي الله عليه وسلم juga pernah berkurban dengan dua hewan, satu atas nama beliau صلي الله عليه وسلم dan keluarga dan yang satu lagi atas nama semua umat beliau yang beriman.[1] Dan Rasulullah  صلي الله عليه وسلم  memotivasi dan menyemangati umatnya agar melakukan ibadah ini.

Para Ulama berbeda pendapat mengenai apakah ibadah kurban itu wajib ataukah tidak? menjadi dua pendapat.[2] Diantara para Ulama, ada yang mengatakan bahwa ibadah kurban ini hukumnya wajib bagi yang mampu, karena ada perintah (dari Allah) untuk melakukannya dalam al-Qur’an. Yaitu dalam firman Allah سبحانه و تعالي:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkorbanlah.” (QS. al-Kautsar/108: 2)

Juga berdasarkan perintah dari Nabi صلي الله عليه وسلم pada orang yang melakukannya sebelum shalat ‘Id agar dia menyembelih hewan kurban lagi setelah shalat.[3] Juga berdasarkan riwayat :

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَـمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا

“Barangsiapa memiliki kemampuan tapi dia tidak melakukan ibadah kurban, maka janganlah dia mendekati masjid kami.” [4]

Oleh karena itu, tidak selayaknya bagi orang yang mampu meninggalkan ibadah ini. Hendaklah dia berkurban dengan satu hewan (kambing) atas nama dia dan keluarganya. Dan tidak sah dua orang atau lebih bersekutu dalam kepemilikan seekor kambing kurban. Sedangkan pada sapi atau unta, maka boleh tujuh orang bersekutu dalam kepemilikannya. Sekali lagi, ini dalam kepemilikan. Adapun bersekutu dalam pahala, maka tidak apa-apa seseorang berkurban dengan satu kambing atas nama dirinya dan keluarganya, meskipun jumlahnya banyak. Bahkan dia boleh berkurban atas nama dirinya dan seluruh Ulama Islam atau yang serupa dengan itu, (misalnya) atas nama banyak orang sampai tidak ada yang bisa menghitungnya kecuali Allah عزّوجلّ.

CATATAN:

Disini, saya merasa perlu mengingatkan satu hal yang sering dilakukan oleh umat dengan keyakinan bahwa ibadah kurban itu dilakukan khusus atas nama orang-orang yang sudah mati. Sampai-sampai jika mereka ditanya, “Sudahkah kamu melakukan ibadah kurban atas nama dirimu ?” maka dia akan menjawab, “Apakah saya melaksanakan ibadah kurban ? padahal saya masih hidup ?!” Dia mengingkarinya. Sepantasnya untuk diketahui bahwa ibadah kurban itu disyari’atkan bagi kaum Muslimin yang masih hidup. Ibadah ini termasuk diantara ibadah-ibadah khusus yang merupakan kewajiban orang yang masih hidup. Oleh karena itu tidak ada riwayat dari Nabi صلي الله عليه وسلم yang menjelaskan bahwa beliau صلي الله عليه وسلم melakukan ibadah kurban atas nama keluarga dekat beliau صلي الله عليه وسلم yang sudah meninggal, tidak pula atas nama istri-istri beliau صلي الله عليه وسلم secara khusus. Beliau صلي الله عليه وسلم tidak pernah berkurban atas nama Khadijah رضي الله عنها istri pertama beliau, juga tidak atas nama Zainab binti Khuzaimah رضي الله عنها, istri beliau صلي الله عليه وسلم yang meninggal tidak lama setelah beliau nikahi, juga tidak berkurban atas nama Hamzah bin Abdul Mutthalib رضي الله عنه, paman beliau صلي الله عليه وسلم yang syahid dalam perang Uhud. Beliau hanya berkurban atas nama dirinya dan semua keluarganya. Ini mencakup keluarga yang masih hidup dan yang sudah meninggal.

Ada perbedaan antara mengkhusukan atau berdiri sendiri (istiqlal) dengan memasukkan (tabi’un). Artinya orang yang sudah meninggal bisa mendapatkan pahala ibadah kurban karena dia termasuk dalam lingkup keluarga orang yang melakukan ibadah kurban atas nama dirinya dan keluarganya. Dan berniat atas nama keluarganya yang masih hidup dan yang sudah meninggal. Adapun melakukan ibadah kurban khusus atas nama orang vang sudah meninggal, maka sepengetahuan saya, perbuatan ini tidak ada dasarnya dalam sunnah. Namun, jika orang yang sudah meniggal itu sudah berwasiat agar disembelihkan hewan kurban, maka ini harus dilaksanakan dalam rangka menunaikan wasiatnya. Semoga masalah ini bisa difahami. Bahwasanya ibadah kurban itu hanya disyari’atkan bagi orang yang masih hidup, bukan bagi orang yang sudah meninggal. Berkurban atas nama orang yang sudah meninggal hanya ada pada (dua keadaan yaitu) ikutan (artinya si mayyit termasuk anggota kelurga dari orang yang melakukan ibadah kurban atas nama dirinya dan keluarganya, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati-red) atau karena wasiat. Sedangkan selain dua itu, meskipun (ada yang berpendapat-red) boleh, namun sebaiknya itu tidak dilakukan.


[1] HR. Ahmad 6/391 dan Ibnu Majah, no. 3122
[2]
Dalam fatwa yang lain, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin رحمه الله menyebutkan pilihan beliau yaitu sunnah mu’akkadah.
[3]
HR. Bukhari, Kitabul Adhahi, Bab Man Dzabaha Qablas Shaldti fal Yu’id (no. 5561) dan Muslim dalam Kitabul Adhahi, Babu Waqtiha (no. 1960)
[4]
HR. Ahmad 2/321 dan Ibnu Majah, Kitabul Adhahi. Babul Adhahi Wajibah Hiya am La ? (no. 3123) dan al-Hakim (2/389) dan beliau رحمه الله menilainya sebagai hadits shahih.

Sumber:
Majmu’ Fata
wa wa Rasa’il Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, 25/21-23.[ ]

Disalin dari Majalah As-Sunnah, Ed. 06 Thn. XV_1432/2011, hal 5-6