Soal:
Assalamu’alaikum. Ustadz, ada seseorang hutang kepada si A dengan jaminan sawah, dengan perjanjian bahwa si A akan memanfaatkan sawah yang digadaikan tersebut lalu sebagian persennya diberikan kepada si penghutang. Semua itu dengan persetujuan si penghutang. Saya mohon jawaban Ustadz, karena ada yang mengatakan sistem tersebut adalah riba, padahal model seperti itu sudah marak di daerah kami. (Abdullah)
Jawab:
Wa’alaikumussalam. Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan saha-batnya. Amin.
Praktik pergadaian sawah sebagaimana yang dijelaskan dalam pertanyaan ini adalah riba. Karena kreditor (pemilik uang) dengan jelas mendapatkan keuntungan dari piutang yang diberikan. Padahal para ulama telah menegaskan bahwa:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبَا
“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba.”[1]
Adapun hadits:
اَلظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَلَبَنُ اَلدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَعَلَى اَلَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ اَلنَّفَقَةُ
“Hewan tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkah (pakan) yang diberikan, yaitu apabila hewan tunggangan itu digadaikan. Air susu hasil perahan juga boleh diminum sebagai imbalan atas nafkah yang diberikan, yaitu apabila hewan tunggangan itu digadaikan. Dan yang menunggangi dan meminum susunya wajib memberikan nafkah/pakan (kepada hewan yang digadaikan). ” (Bukhori hadits no. 2512)
Tampak dengan jelas bahwa izin untuk menunggangi dan meminum air susu adalah imbalan dari pakan yang diberikan oleh kreditor kepada hewan yang digadaikan. Dengan demikian, jelaslah bahwa barang gadai yang tidak membutuhkan kepada pakan, semisal ladang atau sawah, tidak boleh dimanfaatkan oleh kreditor. Dan bila kreditor tetap memaksakan kehendak-nya maka ia telah memakan riba.
Adapun alasan bahwa debitor (penghutang) rela dengan praktik semacam ini, maka ketahuilah bahwa kerelaannya itu haram alias tidak ada artinya. Alasan rela dalam kondisi semacam ini sama halnya dengan relanya para pelacur dan para penjual atau pembeli barang-barang haram. Kerelaan mereka tidak ada artinya dalam kasus-kasus yang bertentangan dengan hukum syari’at. Bahkan bila mereka tidak rela, maka yang terjadi ialah pemaksaan kehendak atau perampokan, dan bukan riba. Wallohu Ta’ala A’lam bish showab.[]
Disalin dari Majalah al-Furqon no.113 Ed.10 Thn ke-10 1432H/2011M rubrik Soal Jawab Mu’amalah hal.6-7 asuhan Ustadz Dr. Muhammad Arifin bin Badri, MA خفظه الله.
[1] Baca al-Muhadzdzab oleh as-Syairozi asy-Syafi’i: 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah al-Hanabilah: 4/211 dan 213, dan Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah: 29/533.