Soal:
Apa pendapat syaikh dalam menanggapi maslak qiyas, apakah dia termasuk salah satu sumber selain Al-Qur’an dan as-Sunnah?
Jawab:
Syaikh Masyhur Hasan Salman خفظه الله menjawab :
Masalah ini adalah permasalahan yang banyak membuat seseorang keliru pemahamannya dan tergelincir, namun jawaban yang rajih bahwa syariat ini memiliki illat (sebab dibuatnya hukum-pent)yang mu’tabarah (dianggap). Sebagaimana yang tertulis dalam surat Umar kepada Abu Musa Al-As’ari yang berbunyi:
“Kenalilah sesuatu dengan hal-hal yang serupa dengannya maka engkau akan mengetahui kebenaran”
Tetapi Qiyas bukan sumber yang independen layaknya Al-Qur’an dan As-Sunnah, dia hanyalah sebuah masdar taba’i (dasar yang mengikut) dibawah cakupan Al-Qur’an dan As-sunnah. Kita paham dari Al-Qur’an dan As-sunnah adanya kaedah-kaedah umum dan ketentuan –ketentuan dasar, maupun kaedah-kaedah fikih. Dengan itulah kita berusaha menyesuaikan hukum-hukum dengan menganalogikannya kepada kasus-kasus yang serupa.
Dalam menyikapi Qiyas, manusia yang keliru terbagi menjadi dua kelompok yang berseberangan: pertama adalah kelompok yang menolak qiyas secara total dan tidak menganggap bahwa syariat ini memililiki illat, memiliki hikmah bahkan mengingkari bahwa syariat ini ada yang ma’qulatul makna (dapat di rasionalkan.pent). kelompok ini adalah keliru
Adapun kelompok kedua: adalah kelompok yang terlalu luas dalam penggunaan qiyas sehingga meremehkan nas-nas, bahkan bukan sekedar menjadikannya dasar hukum ketiga saja, lebih dari itu dia mendahulukannya dari nas-nas, walaupun pada dasarnya sepakat menerima nas. Kelompok ini juga keliru sebagaimana yang pertama.
Jawaban yang benar bahwa Qiyas mu’tabar (dianggap sebagai salah satu rujukan.pent). Ketika Imam Ahmad bertemu dengan Imam Syafii, —Ahmad sangat mencintai Syafii—. Dia pernah menukil sebuah perkatan Syafii ketika ditanya mengenai kehujjahan qiyas :
“Qiyas dapat dipakai hanya pada kondisi darurat”
inilah yang diperkuat Imam Ibn Qoyyim dalam keterangannya dan penjelasannya yang sangat tepat dan sempurna hingga tidak perlu lagi ditambahi dalam kitabnya : I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabbi al-‘alamin. Kemudian masalah ini turut diperbincangkan oleh Jabariyyah dan Qodariyyah sehingga terseret kedalam pemahaman aqidah yang rusak.
Pendapat yang paling benar dan pertengahan adalah yang kusebutkan tadi, namun kalimat yang kusampaikan ini tentu tidak cukup untuk menerangkan secara rinci permasalahan ini dari apa yang diterangkan Ibn Qoyyim.[]
Disalin dari Tanya Jawab bersama Masyaikh Markaz Imam Albani pertanyaan ke-3 yang eBooknya dari AbuSalma.
Ping-balik: damarwu