Soal:
As-Salamu ‘alaikum. Dalam ilmu fiqih dijelaskan bahwa rakyat harus turut ikut berhari-raya dengan pemerintah. Bagaimana hukumnya apabila kita yakin ada yang melihat bulan sabit (hilal) Syawal pada malam setelah tanggal 29 Ramadhan atau malam ke-30, padahal pemerintah telah menetapkan bahwa Ramadhan diikmal (digenapkan) menjadi 30 hari karena menuruti pemerintah hilal Syawal tidak terlihat? Apakah kita tetap ikut pemerintah atau kita berhari raya besoknya (puasa 29 hari) karena telah melihat hilal dengan yakin? Bagaimana hukumnya seorang Ustadz yang menjadi imam dan atau khatib shalat ‘led bersama orang yang puasa 29 hari padahal dia berkeyakinan hari raya jatuh setelah ikmal Ramadhan 30 hari, dan ketika shalat atau khutbah ‘id itu dia berpuasa? Bagaimana juga hukumnya seorang ustadz yang jadi khatib dan atau imam ‘id 2 kali pada 2 hari yang berbeda karena kebetulan ada perbedaan hari raya pada saat itu? Syukran, jazaakumullaahu khairan. Was-Salaamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. 62813742xxxxx
Jawab:
Wa’alaikumussalam. Tetap saja berpuasa, melihat ataupun tidak melihat, selama pihak yang berwenang dalam hal ini pemerintah belum menetapkan hari raya ataupun hari pertama Ramadhan maka masyarakat harus mengikuti keputusan pemerintah, termasuk orang yang melihatnya secara langsung, selama persaksiannya tidak diterima, maka dia tetap mengikuti pemerintah. Diantara hikmahnya adalah menjaga persatuan dan kebersamaan, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم:
الْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ اَلنَّاسُ, وَالْأَضْحَى يَوْمَ يُضَحِّي اَلنَّاسُ
ledul Fithri yaitu dimana masyarakat luas berbuka puasa dan hari raya iedulAdha yaitu hari dimana masyarakat luas menyembelih hewan kurban. (HR. at-Tirmidzi, no 802)
Karenanya berdasarkan hadits ini tidak diragukan bahwa pendapat yang lebih tepat dalam hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله bahwa orang yang melihat bila persaksiannya tidak diterima oleh pemerintah, maka tetap berkewajiban mengikuti keputusan pemerintah di negara masing-masing. Demikian beliau jelaskan dengan panjang lebar dalam kitabnya Risalatul Hilal yang termuat dalam Majmu’ Fatawa, beliau jilid 25.[]
Disalin dari Majalah as-Sunnah, Ed. Khusus No. 03-04 Thn XVI 1433H/2012M, Rubrik Soal-Jawab hal.7 Asuhan Ustadz DR. Muhammad Arifin Badri خفظه الله.
Reblogged this on zyrechsmart.