Soal:
Kami bekerja di Saudi, tetapi sekarang tidak berniat untuk menetap. Insya Allah setelah semua tujuan tercapai, seperti haji dan beberapa hal lain, kami akan pulang. Apakah kami bisa dihukumi sebagai orang yang safar, sehingga istri dapat mengqashar shalat, dan saya pun mengqasharnya jika tertinggal shalat jamaah? Mohon ustadz memberikan jawaban atas masalah kami lewat email ini. Jazakumullahu khairan.
Abu Salman al-Kendaly, Riyadh, KSA
alkendaly@yahoo.co.id
Jawab:
Banyak pertanyaan seperti ini. Permasalahannya kembali kepada ketentuan dan batasan safar, serta kapan seseorang dianggap telah bermukim dan menjadikan tempat tinggainya tersebut sebagai negerinya.
Para ulama berselisih tentang batasan jarak safar. Dan yang rajih, yaitu kembali kepada anggapan dan kebiasaan umumnya, tanpa batasan waktu tertentu.
Syaikhul-lslam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: “Al-Qur’an dan as-Sunnah tidak mengkhususkan satu jenis safar untuk mengqashar shalat, berbuka puasa dan tayammum. Nabi صلى الله عليه وسلم juga tidak membatasi jarak safar yang boleh qashar dengan batasan waktu dan tempat tertentu. Juga tidak mungkin hal itu dapat dibatasi dengan batasan yang shahih, karena bumi tidak bisa diukur dengan ukuran yang baku dalam keumuman safar. Demikian juga gerak musafir berbeda-beda. Barang siapa yang membagi safar dengan safar dekat dan jauh, dan mengkhususkan sebagian hukum safar dengannya, dan sebagian lain dengan yang lain, serta menjadikannya berhubungan dengan safar yang jauh, maka ia tidak memiliki hujjah yang wajib dirujuk.[1]
Sedangkan Ibnul-Qayyim رحمه الله berkata: “Semua yang diriwayatkan dari beliau صلى الله عليه وسلم tentang pembatasan safar dengan satu hari, dua hari atau tiga hari, maka tidak ada yang shahih sedikit pun darinya”.[2]
Oleh karena itu Syaikh Masyhur Salman حفظه الله berkata: “Musafir mengqashar shalat selama tidak berada di negeri (daerah) yang dijadikannya sebagai tempat muqim (mauthin), dan ada dalam niatnya kembali ke negeri tersebut, baik ia sedang dalam perjalanan atau telah menetap di negeri lain dalam waktu tertentu, yang ia ketahui selama tidak menjadikannya sebagai mauthin, atau tidak mengetahui lamanya, dan dalam dirinya mengatakan ‘sekarang saya bisa pergi atau besok saya akan pergi’.”[3]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin رحمه الله di dalam Syarhut-Mumti’ (4/546) menjelaskan, bahwa iqamah (bermukim) dibagi menjadi dua, yaitu iqamah mutlak dan iqamah muqayyad (terbatas).
Pengertian iqamah mutlak, yaitu berniat mukim menetap selama tidak ada sebab yang mengharuskannya meninggalkan tempat tersebut. Di antaranya para duta besar. Sudah pasti pada asalnya mereka menetap dengan iqamah mutlak, sehingga tidak meninggalkannya kecuali bila diperintahkan. Berdasarkan hal ini, maka ia wajib menyempurnakan (tidak mengqashar), puasa Ramadhan, dan dalam mengusap khauf tidak lebih dari sehari semalam. Karena iqamah mutlak, sehingga ia mengambil hukum mustauthin (warga yang mukim tetap).
Kemudian Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin mengatakan, iqamah muqayyadah ada dua. Yaitu yang terikat dengan waktu, dan terikat dengan pekerjaan. Orang yang berniat iqamah muqayyad disebabkan oleh pekerjaannya, maka ia tetap mengqashar shalatnya, walaupun waktunya lama.
Wallahu a’lam.[]
Disalin dari Majalah As-Sunnah No.08/Thn.XI 1428H/2007M, Rubrik Soal-Jawab hal.8-9