Mengurus Bayi Dengan Tuntunan Nabi

Soal:

Assalamu’alaikum. Saya mau tanya bagaimana tata cara mengurus bayi baru lahir sesuai dengan tuntunan Nabi صلى الله عليه وسلم, baik laki laki atau perempuan. Terima kasih.

Jawab:

Wa’alaikumussalam. Ditahnik, dikhitan, dicukur rambutnya pada hari ketujuh, diberi nama pada hari ketujuh, diaqiqahi.[]

Sumber: Majalah Al-Furqon No.149 Ed. 01 Th. Ke-14, hal.5 Rubrik Soal-Jawab Asuhan Ustadz Abdullah Roy, Lc, MA.

Syukuran Dengan Nasi Tumpeng

Soal:

Assalamu’alaikum. Ustadz, di tempat ana ada syukuran biasa dan tidak ada bid’ahnya. Tapi, makannya nasi tumpeng, apa boleh dimakan, Ustadz? (Ikhwan di Gresik)

Jawab:

Wa’alaikumussalam. Boleh dimakan, namun tuan rumah perlu dinasihati, kalau dikhawatirkan terjadi keyakinan yang tidak benar tentang nasi tumpeng maka sebaiknya syukurannya tanpa nasi tumpeng saja.[]

Sumber: Majalah Al-Furqon No.149 Ed. 01 Th. Ke-14, hal.4 Rubrik Soal-Jawab Asuhan Ustadz Abdullah Roy, Lc, MA.

Maksud Perkataan Ali رضي الله عنه

Soal:

Apa maksud ucapan Ali رضي الله عنه, “Hendaklah berkata kepada manusia sesuai dengan tingkat pemahaman mereka. Apakah kamu mau Allah dan Rasul-Nya didustakan?” Terkadang saya takut kalau kebenaran yang saya sampaikan kepada orang tua itu, mereka dustakan sehingga saya sering menunda dakwah. Syukron.

Abu Salim, Pemangkat
08215393xxxx

Jawab:

Maksud dari ucapan Sahabat Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه di atas ialah, hendaklah Saudara memperhatikan kemampuan berpikir dan kesiapannya dalam memahami topik pembicaraan yang sauadara sampaikan. Demikian pula dengan metodologi pendekatan yang saudara gunakan dalam menyampaikan pesan-pesan saudara. Karena itu tidak ada alasan menunda dakwah karena alasan ucapan Sahabat Ali رضي الله عنه di atas. Namun ucapan di atas adalah anjuran agar kita mengikuti skala prioritas dalam berdakwah, dimulai dari tema yang.ringan untuk dipahami dan mendasar yaitu tauhid kewajiban memurnikan ibadah kepada Allah عزّوجلّ, dan meneladani Sunnah Nabi dalam menjalankan ibadah kepada Allah عزّوجلّ. Adapun urusan menerima atau tidak maka itu sepenuhnya kuasa Allah:

إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Baca lebih lanjut

Memperlakukan Ari-Ari

Soal:

Setiap ibu yang melahirkan anaknya, biasanya juga mengeluarkan semacam gumpalan darah, atau biasa disebut dengan istilah ari-ari (Jawa). Bagaimanakah perlakuan sunnah berkaitan dengan ari-ari ini? Dibuang begitu saja ataukah dikubur? Kalau dikubur, apakah ada perlakuan khusus?

Ahmad Sukisno, Tegal.

Jawab:

Dalam Islam, tidak ada perlakuan khusus terhadap ari-ari. Sebaiknya ari-ari itu dikubur di dalam tanah. Hal ini sebagaimana perkataan sebagian ulama yang menyebutkan, bahwa mengubu-rambut dan kuku itu lebih utama. Karena, kalau dibiarkan atau dibuang di sungai akan mengotori dan mendatangkan bau busuk. Begitu pula dengan ar-ari, ia bisa menimbulkan bau busuk, sehingga dapat mengganggu orang lain.

Untuk menguburnya tidak perlu dicarikan tempat khusus, seperti di samping pintu rumah atau lainnya Begitu pula tidak perlu diberi lampu penerangan khusus untuknya. Juga, tidak boleh menyertakan berbagai macam benda, seperti jarum, pensil, bawang, atau lainnya. Karena semua itu dilakukan oleh orang-orang dengan keyakinan tertentu, yang dalam Islam tidak ada dalilnya. Menyertakan berbaga macam barang dalam mengubur ari-ari termasuk perbuatan bid’ah, atau bahkan syirik, jika dilakukan karena memiliki anggapan dapat mendatangkan kebaikan ataupun menolak bencana. Wallahu a’lam.[]

Disalin dari Majalah as-Sunnah Ed.09, Th. XI_1428/2007, Rubrik Soal-Jawab hal. 8.

Download:
Download Word

Perbedaan Antara Tazkiyah dan Tafa’ul

Soal:

Barakallah. Apa beda larangan tazkiyah dalam pemberian nama dengan tafa’ul (nama-nama yang baik, optimis)? Misalnya ada nama ‘Abdul-Muhsin, apakah boleh? Bukankah Muhsin merupakan nama Allah ? Jazakallahu khairan katsira.

Jawab:

Tentang larangan nama yang merupakan tazkiyah (menyucikan diri sendiri) antara lain disebutkan di dalam hadits di bawah ini:

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَطَاءٍ قَالَ سَمَّيْتُ ابْنَتِي بَرَّةَ فَقَالَتْ لِي زَيْنَبُ بِنْتُ أَبِي سَلَمَةَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ هَذَا الِاسْمِ وَسُمِّيتُ بَرَّةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ اللَّهُ أَعْلَمُ بِأَهْلِ الْبِرِّ مِنْكُمْ فَقَالُوا بِمَ نُسَمِّيهَا قَالَ سَمُّوهَا زَيْنَبَ

Dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Atha’, dia berkata: Aku menamai anak perempuanku dengan Bar rah, lalu Zainab bintu Abi Salamah berkata kepadaku: “Sesungguhnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah melarang nama ini. Dahulu aku diberi nama Barrah (artinya, wanita yang berbakti, Red.),” lalu Rasulullah bersabda: “Janganlah engkau menyucikan dirimu sendiri. Allah lebih mengetahui terhadap orang yang berbakti di antaramu!” Para sahabat bertanya: “Dengan apa kita menamainya?” Beliau menjawab: “Namailah dia Zainab”. (HR Muslim, no. 2142).

Baca lebih lanjut

Apa Maksud Maslahat Dakwah

Soal:

Apa yang dimaksud dengan Maslahat Dakwah?

Jawab:

Syaikh Masyhur Hasan Salman خفظه الله menjawab :

Adapun maslahat dakwah, banyak orang yang menggunakannya sebagai pembenaran atas berbagai kepentingan dan keingginan mereka, padahal maslahat dakwah harus dipandang dengan kacamata maslahat yang syar’i. Di dalam menyikapi berbagai masalah baru dan problematika besar yang berkembang, seseorang harus meruju’ kepada alim ulama. Jika terdapat sesuatu hal yang dianggap dapat dijadikan sebagai kemaslahatan dakwah, maka harus ditanyakan terlebih dahulu kepada para ulama agar mereka yang dapat menghukuminya.

Baca lebih lanjut

Sarana Mensucikan Hati

Soal:

Apa saja yang dapat membersihkan hati?

Jawab:

Tidak asing lagi bahwa sebaik-baik yang mensucikan jiwa seseorang adalah ilmu syar’i, dan ilmu yang paling agung adalah ma’rifatullah (mengenal Allah), memahami ayat-ayat al-Qur’an serta Asma’ dan Shifat yang terkandung di dalamnya. Hayatilah nama dan sifat Allah عزّوجلّ yang maha indah itu kemudian beribadahlah kepada Allah dengannya, karena hal itu dapat menumbuhkan khasyatullah (rasa takut kepada Allah عزّوجلّ) dalam jiwa seorang hamba. Allah عزّوجلّ berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambaNya hanyalah Ulama. (QS. Fathir/35: 28)

Maka, barangsiapa lebih mengenal Allah عزّوجلّ, pastilah dia akan lebih merasa takut kepada-Nya.

Baca lebih lanjut

Hindarilah Sifat Munafik dan Suap

Soal:

Apakah orang yang mendekati pimpinannya dengan melaksanakan pekerjaan dengan baik, memberikan hadiah yang sangat berharga, pura-pura menghormatinya padahal ia tidak menyukainya bahkan berharap pimpinan terse-but segera diganti dengan yang lainnya. Apakah hal ini termasuk kemunafikan? Perlu diketahui bahwa pimpinan tersebut memiliki sifat-sifat terpuji?

Jawab:

Syaikh bin Baz رحمه الله menjawab:

Hendaklah ia mengikhlaskan diri kepada Allah dan mendo’akannya tanpa sepengetahuannya semoga Allah memberinya hidayah dan taufiq serta hendaklah ia tidak perlu memberinya hadiah. Janganlah memberi hadiah dalam posisi seperti ini, karena terkadang masuk dalam kategori suap.

Namun hendaklah ia selalu ikhlas dan mendoakannya dalam sujud dan di akhir shalatnya, semoga Allah memberinya taufiq dan menolongnya untuk menunaikan amanah. Karena seorang mukmin adalah cermin bagi saudaranya.

Jauhilah oleh Anda sikap munafiq dan perbuatan suap. Adapun ucapan yang baik maka hal itu sangatlah dianjurkan, seperti ucapan: Assalaamu ‘alaikum, bagaimana kabarmu? Bagaimana kabar keluargamu? Dan lain sebagainya.[] (Fatawa Islamiyyah, karya Al-Musnad IV/317)


Disalin dari: Fatwa-fatwa Bagi Pegawai, terbitan at-Tibyan Solo, hal. 83-84

Download:
Hindarilah Sifat Munafik dan Suap: DOC atau CHM

Hukum Mencium Tangan

Soal:
Ustadz, apakah berjabat tangan sambil mencium tangan hukumnya haram? Terima kasih atas penjelasannya. (IK-Sidoarjo)

Jawab:

Wa’alaikumussalam warohmatullohi wabarokatuh.

Syaikh Muhammad Ibnu Ibrohim رحمه الله mengatakan: “Sebagian para imam madzhab, di antaranya Imam Ahmad رحمه الله membolehkan mencium tangan dengan syarat sebabnya bukan pengagungan urusan dunia. Sebagian para imam mensyaratkan bolehnya mencium tangan jika tidak ada kesengajaan menjulurkan tangannya supaya dicium (sebagaimana) disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله.

Sebagian para imam seperti Imam Malik رحمه الله memakruhkannya. Bahkan Sulaiman bin Harb رحمه الله mengatakan itu termasuk sujud kecil (kepada makhluk).

Dan mereka (yang membolehkan) mensyaratkan jika tidak mengakibatkan adanya pengagungan, ketundukan (kepada yang dicium tangannya) dan merubah sunnah Rosul صلي الله عليه وسلم. (Fatawa wa Rosa’il Syaikh Muhammad Ibnu Ibrohim 10/200)

Syaikh Ibnu Utsaimin رحمه الله pernah ditanya dengan pertanyaan serupa, beliau menjawab: “Mencium tangan seseorang untuk penghormatan (kalau memang orang itu berhak dihormati seperti ayahnya, Syaikh besar, atau gurunya) hukumnya boleh. Kecuali jika dikhawatirkan timbul madhorot. Jika yang dicium tangannya merasa ujub dan merasa lebih tinggi kedudukannya, maka kita melarangnya disebabkan adanya kerusakan (madhorot). (Liqo’ al-Bab al-Maftuh 29/177).

Syaikh al-Albani رحمه الله berkata: “Adapun mencium tangan, maka ada beberapa hadits dan atsar. Kesimpulannya bahwa hal itu pernah terjadi pada diri Rosululloh صلي الله عليه وسلم, maka kami berpendapat boleh mencium tangan orang alim dengan syarat:

  1. Tidak dijadikan kebiasaan yang akhirnya sang alim selalu mengulurkan tangannya supaya dicium oleh muridnya.
  2. Tidak akan menjadikan orang alim takabbur (merasa lebih tinggi) dari yang lainnya.
  3. Tidak berakibat terabaikannya sunnah Nabi صلي الله عليه وسلم seperti sunnah berjabat tangan (tanpa mencium tangan).

Sesungguhnya ini adalah sunnah Rosululloh صلي الله عليه وسلم (yang telah dicontohkan) baik dengan perbuatannya atau perkataannya. Bersalaman adalah sebab gugurnya dosa bagi orang yang berjabat tangan sebagaimana diriwayatkan dalam banyak hadits. Maka yang paling tepat bahwa (mencium tangan) hukumnya adalah boleh (dengan syarat yang telah disebutkan). (Silsilah Ahadits Shohihah dengan sedikit ringkas 1/159). Wallohu a’lam. (Ustadz Abu Ibrohim Muhammad Ali AM خفظه الله)

Sumber:
Majalah Al-Furqon ed 11 th ke-9 Jumadil Tsani 1432, Rubrik Soal-Jawab