Seputar Politik dan Pemilu

Soal:

Assalamu ‘alaikum. Mohon jawaban dari tim Majalah:

  1. Bagaimana menyikapi agama dan politik, dipisah atau politik bagian dari agama?
  2. Bagaimana menyikapi orang Syi’ah, JIL, Nashrani, dll. yang ikut jadi caleg, khususnya partai non-Islam. Syukran atas perhatiannya.

(Abu Fattah, Tangerang)

Jawab:

Wa’alaikumussalam.

  1. Agama Islam adalah agama yang sempurna. Allah سبحانه و تعالى telah mengatur masalah kenegaraan di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits-hadits Nabi صلى الله عليه وسلم. Telah diatur di dalam agama Islam hak dan kewajiban masing-masing dari seorang pemimpin dan seorang rakyat. Apabila masing-masing menunaikan kewajibannya maka akan tercipta negara yang aman, tenteram, dan berbarokah. Allah akan bertanya kepada pemimpin dan yang dipimpin pada hari kiamat. Merupakan sebuah kesalahan memisahkan antara agama dan negara.
  2. Seorang muslim tidak boleh memilih caleg (calon legislatif) orang kafir atau seseorang yang diperkirakan membawa mudharat besar bagi Islam dan kaum muslimin. Harusnya dia memilih seorang muslim sunni apabila memang keadaan menuntut dia untuk memilih. Dan perkara seperti ini dikembalikan kepada ulama atau da’i setempat yang dipercaya agama dan amanahnya —yang mampu menimbang mashlahat (kebaikan) dan mafsadat (kerusakan) —. Wallahu A’lam.

Disalin dari Majalah al-Furqon no. 147, Ed. 10 Thn. Ke-13, Rubrik Soal-Jawab, hal. 4, diasuh oleh: al-Ustadz Abdullah Roy, Lc. MA حفظه الله

Memperlakukan Ari-Ari

Soal:

Setiap ibu yang melahirkan anaknya, biasanya juga mengeluarkan semacam gumpalan darah, atau biasa disebut dengan istilah ari-ari (Jawa). Bagaimanakah perlakuan sunnah berkaitan dengan ari-ari ini? Dibuang begitu saja ataukah dikubur? Kalau dikubur, apakah ada perlakuan khusus?

Ahmad Sukisno, Tegal.

Jawab:

Dalam Islam, tidak ada perlakuan khusus terhadap ari-ari. Sebaiknya ari-ari itu dikubur di dalam tanah. Hal ini sebagaimana perkataan sebagian ulama yang menyebutkan, bahwa mengubu-rambut dan kuku itu lebih utama. Karena, kalau dibiarkan atau dibuang di sungai akan mengotori dan mendatangkan bau busuk. Begitu pula dengan ar-ari, ia bisa menimbulkan bau busuk, sehingga dapat mengganggu orang lain.

Untuk menguburnya tidak perlu dicarikan tempat khusus, seperti di samping pintu rumah atau lainnya Begitu pula tidak perlu diberi lampu penerangan khusus untuknya. Juga, tidak boleh menyertakan berbagai macam benda, seperti jarum, pensil, bawang, atau lainnya. Karena semua itu dilakukan oleh orang-orang dengan keyakinan tertentu, yang dalam Islam tidak ada dalilnya. Menyertakan berbaga macam barang dalam mengubur ari-ari termasuk perbuatan bid’ah, atau bahkan syirik, jika dilakukan karena memiliki anggapan dapat mendatangkan kebaikan ataupun menolak bencana. Wallahu a’lam.[]

Disalin dari Majalah as-Sunnah Ed.09, Th. XI_1428/2007, Rubrik Soal-Jawab hal. 8.

Download:
Download Word

Asal-Usul Hawa

Soal:

Afwan, ana mau bertanya, di surat apa dan ayat berapakah yang menjelaskan proses penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam عليه السلام? Ataukah mungkin pernah dibahas di Majalah As-Sunnah, edisi ke berapa? Jazakumullahu khairan?

0819040xxxx

Jawab:

Terlebih dulu kami sampaikan, bahwa soal yang ditanyakan tersebut belum pernah dibahas di Majalah As-Sunnah. Berikut kami mencoba untuh menjawabnya.[1]

Ada beberapa ayat yang mengisyaratkan Hawa diciptakan dari Adam, namun tidak memerinci dari bagian mana ia diciptakan. Firman Allah عزّوجلّ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. an-Nisa’/4:1).

Firman-Nya:

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ

Baca lebih lanjut

Hukum Memakai Baju Berlafazh Allah

Soal:

Di daerah saya sekarang (Inggris) sedang ngetrend baju-baju yang bertuliskan lafzhul jalaalah (Allah). Penyebaran mode pakaian seperti ini dipandang sebagai sebuah kesalahan. Karena orang-orang memakainya tanpa ada rasa penghormatan, kadang kala memakainya untuk berkemul atau melemparkannya ke tanah. Disamping jika boleh memakainya, bolehkah mengenakannya masuk ke dalam WC? Bagaimanakah pendapat Anda dalam masalah ini? Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.

Jawab:

Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid حفظه الله menjawab:

Alhamdulillah.

Baju-baju seperti itu tidak boleh diperjualbelikan dan dikenakan. Orang yang mengenakannya harus dilarang. Karena perbuatan tersebut, yaitu menulis lafzhul jalaalah padanya, termasuk merendahkan lafazh tersebut. Sudah barang tentu dapat menyeret kepada penghinaan lafazh Allah, seperti melemparnya ke tempat-tempat yang tidak kotor seperti kamar mandi -khususnya jika kotor dan ingin dicuci- atau bentuk-bentuk penghinaan lainnya. Kemudian jika Anda dan kaum muslimin lainnya tidak membeli baju-baju seperti itu berarti telah mempersempit pemasarannya yang secara otomatis para produsen baju-baju tersebut -jika tujuannya murni bisnis- tidak lagi menulis lafzhul jalaalah pada baju-baju yang diproduksinya.[]


Disalin dari IslamHouse.Com

Orang yang Melihat Hilal

Soal:

As-Salamu ‘alaikum. Dalam ilmu fiqih dijelaskan bahwa rakyat harus turut ikut berhari-raya dengan pemerintah. Bagaimana hukumnya apabila kita yakin ada yang melihat bulan sabit (hilal) Syawal pada malam setelah tanggal 29 Ramadhan atau malam ke-30, padahal pemerintah telah menetapkan bahwa Ramadhan diikmal (digenapkan) menjadi 30 hari karena menuruti pemerintah hilal Syawal tidak terlihat? Apakah kita tetap ikut pemerintah atau kita berhari raya besoknya (puasa 29 hari) karena telah melihat hilal dengan yakin? Bagaimana hukumnya seorang Ustadz yang menjadi imam dan atau khatib shalat ‘led bersama orang yang puasa 29 hari padahal dia berkeyakinan hari raya jatuh setelah ikmal Ramadhan 30 hari, dan ketika shalat atau khutbah ‘id itu dia berpuasa? Bagaimana juga hukumnya seorang ustadz yang jadi khatib dan atau imam ‘id 2 kali pada 2 hari yang berbeda karena kebetulan ada perbedaan hari raya pada saat itu? Syukran, jazaakumullaahu khairan. Was-Salaamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. 62813742xxxxx

Jawab:

Baca lebih lanjut

Apakah Qiyas Sumber Hukum Agama

Soal:

Apa pendapat syaikh dalam menanggapi maslak qiyas, apakah dia termasuk salah satu sumber selain  Al-Qur’an dan as-Sunnah?

Jawab:

Syaikh Masyhur Hasan Salman خفظه الله menjawab :

Masalah ini adalah permasalahan yang banyak membuat seseorang keliru pemahamannya dan  tergelincir, namun jawaban yang rajih bahwa syariat ini memiliki  illat (sebab dibuatnya hukum-pent)yang  mu’tabarah (dianggap). Sebagaimana yang tertulis dalam surat  Umar kepada Abu Musa Al-As’ari yang berbunyi:

“Kenalilah sesuatu dengan hal-hal yang serupa dengannya maka engkau akan mengetahui kebenaran”

Tetapi Qiyas bukan  sumber yang independen layaknya Al-Qur’an dan As-Sunnah, dia hanyalah sebuah masdar taba’i (dasar yang mengikut) dibawah cakupan Al-Qur’an dan As-sunnah. Kita paham dari Al-Qur’an dan As-sunnah adanya kaedah-kaedah umum dan ketentuan –ketentuan dasar, maupun  kaedah-kaedah fikih. Dengan itulah kita berusaha menyesuaikan hukum-hukum dengan menganalogikannya kepada kasus-kasus yang serupa.

Baca lebih lanjut

Apakah Maksud at-Tamyi’ dan al-Mudarah?

Soal:

Apa yang dimaksud dengan at-tamyi’ bagaimana kriteria-kriteriannya, dan apakah perbedaannya dengan al-mudarah?

Jawab:

Syaikh Salim ‘id al-Hilali خفظه الله menjawab :

Maksud tamyi’ disini adalah keterikatan dalam hal wala’ dan baro’, yaitu sikap  sebagian orang yang mengaku Islam   yang menggambarkan seolah-olah boleh berwala dan bara’ terhadap orang-orang kafir. Sikap toleransi kebablasan ini terkadang membuat mereka  mengganggap sama antara agama Yahudi, Nasarani dan Islam. Misi mereka adalah menyeru orang kepada wihdatu al-adyan (penyatuan agama). Inilah sikap tamyi’ terhadap Islam. Terkadang mereka mengajak untuk mempersatukan agama, terkadang  dengan cara mengajak dialoq antar agama.

Sikap kedua adalah sikap toleransi kebablasan yang seolah-olah menggambarkan bahwa al-wala dan al-bara’ itu berlaku untuk seluruh umat Islam, baik antara yang Sunni dengan bukan Sunni, sebab keseluruhannya mengaku sebagai Islam dan mengaku sebagai pengikut Muhammad, maka tiada beda antara Ahlu Sunnah dengan Ahlu Bid’ah, antara Salafi dan Sufi, antara Ikhwanul Muslimin dan Hizbu at-Tahrir. Jenis tamyi’ dalam berdakwah seperti ini merupakan   tamyi’ dalam berda’wah dan didalam manhaj.

Adapun Mudarah yaitu metode taliful qulub (membujuk) orang-orang yang kita anggap mau masuk ke dalam Islam ataupun masuk kedalam salafiyyah.[]

Disalin dari Tanya Jawab bersama Masyaikh Markaz Imam Albani pertanyaan ke-6 yang eBooknya dari AbuSalma.

Download:
Apakah Maksud at-Tamyi’ dan al-Mudarah?
Download Word

Apakah Hakikat Hizbiyyah

Soal:

Apakah Hakikat Hizbiyyah?

Jawab:

Syaikh Masyhur Hasan Salman خفظه الله menjawab :

Terakhir adalah hakikat hizbiyyah,[1] al-Wala (loyaliitas) dan al-Baro’, sikap cinta ataupun benci haruslah berdasarkan agama. Kita dituntut untuk mencintai seseorang, membencinya wala maupun bara’ atasnya haruslah karena agama. Pernah terjadi antara seorang Muhajirin dengan seorang Ansor pertengkaran, sehingga keduanya menjerit minta bantuan kepada kaum masing-masing” Wahai Ansor, Wahai Muhajirin !!”. Seketika Rasulullah datang menghampiri mereka dan bersabda:” Kenapa kalian masih menyerukan fanatisme kejahiliyyah sementara aku ada ditengah-tengah kalian”. Hakikat Hizbiyyah yakni al-wala’ dan al-baro’ serta berkelompok yang mereka lakukan bukan berlandaskan syariat.

Agama kita sebenarnya sangat lengkap dan sangat munazzam (teratur rapi) kita diatur melaksanakan ibadah haji dalam satu waktu dan satu tempat, solat berjamaah ditempat yang ditentukan, berpuasa pada waktu yang sama, segala sesuatu diatur lengkap dalam agama kita. Barang siapa yang tidak rela dengan agama ini semoga dijauhkan Allah. Cukuplah bagi kita untuk berkumpul dibawah satu panji, melaksanakan ketaatan.[]

Disalin dari Tanya Jawab bersama Masyaikh Markaz Imam Albani pertanyaan ke-4 (pertanyaan ke-4 ini memiliki 3 soal) yang eBooknya dari AbuSalma.


[1] Sebelumnya Syaikh telah menjawab tentang mashalih mursalah dan Maslahat dakwah yang juga telah diposting di blog ini. Ibnu Majjah

Download:
Apakah Hakikat Hizbiyyah
Download Word

Apa Maksud Maslahat Dakwah

Soal:

Apa yang dimaksud dengan Maslahat Dakwah?

Jawab:

Syaikh Masyhur Hasan Salman خفظه الله menjawab :

Adapun maslahat dakwah, banyak orang yang menggunakannya sebagai pembenaran atas berbagai kepentingan dan keingginan mereka, padahal maslahat dakwah harus dipandang dengan kacamata maslahat yang syar’i. Di dalam menyikapi berbagai masalah baru dan problematika besar yang berkembang, seseorang harus meruju’ kepada alim ulama. Jika terdapat sesuatu hal yang dianggap dapat dijadikan sebagai kemaslahatan dakwah, maka harus ditanyakan terlebih dahulu kepada para ulama agar mereka yang dapat menghukuminya.

Baca lebih lanjut

Apakah Standar Bid'ah atau Bukan?

Soal:

Bagaimana standar suatu permasalahkan dapat digolongkan ke dalam perkara bid’ah ataupun tidak?

Jawab:

Syaikh Salim ‘id al-Hilali خفظه الله menjawab :

Bid’ah yaitu suatu perkara yang tidak memiliki dalil sedikitpun baik yang menyangkut asalnya maupun sifatnya (caranya). Segala perkara yang diada-adakan di dalam agama ini maka akan tertolak, semua bid’ah tetaplah dinggap bid’ah baik dengan meninggalkan sesuatu dalam Islam dengan niat bertaqarrub kepada Allah ataupun bid’ah idofiyyah yaitu perkara yang dasarnya disyariatkan namun sifatnya/caranya dibuat-buat.

Tetapi bukan setiap orang yang tergelincir kedalam perbuatan bidah dihukumi sebagai Ahlu bid’ah. Seseorang dihukumi dengan ahlu bid’ah jika telah diberitahukan kepadanya tentang kebid’ahan perbuatannya, dinasehati dan diperingatkan namun dia tetap bersikeras dengan bid’ahnya. Orang seperti ini digolongkan ke dalam Ahlu bid’ah dan boleh ditahzir sebab tidak lagi memiliki karamah (harga diri sebagai muslim).[]

Disalin dari Tanya Jawab bersama Masyaikh Markaz Imam Albani pertanyaan ke-7 yang eBooknya dari AbuSalma, dengan mengambil jawaban sesuai dengan pertanyaan.

Download:
Apakah Standar Bid’ah atau Bukan?
Download Word

Lihat pula:
Apa Maksud Mashalih Mursalah