Mampu Umrah Tapi Belum Mampu Haji

Soal:

Ustadz, saya belum mampu berhaji. Andai saya berumrah, umrah saya itu hukumnya wajib ataukah sunnah?

(M.S. Tauhid, Paciran, Lamongan)

Jawab:

Sebagian ulama berpendapat bahwa umrah hukumnya wajib sekali dalam seumur hidup, dilakukan segera, apabila memenuhi syarat-syarat wajibnya, yaitu Islam, baligh (dewasa), berakal, merdeka (bukan budak), mampu baik fisik maupun harta.

Aisyah رضي الله عنها pernah bertanya kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم, “Wahai Rasulullah, apakah wanita wajib berjihad?” Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

نَعَمْ، عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ لَا قِتَالَ فِيْهِ الْـحَحُّ وَ الْـعُمْرَةُ

“Iya, wajib bagi mereka berjihad yang tidak ada peperangan di dalamnya; haji dan umrah.” (HR Ibnu Majah: 2901, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani رحمه الله).[]

Disalin dari Majalah al-Furqon no. 147, Ed. 10 Thn. Ke-13, Rubrik Soal-Jawab, hal. 4, diasuh oleh: al-Ustadz Abdullah Roy, Lc. MA حفظه الله

Mengenakan Pakaian Berjahit Saat Ihram

Soal:

Bolehkah laki-laki yang mengenakan pakaian ihram saat umrah atau haji memakai celana dalam tidak berjahit (diikatkan/ditali) sebagaimana model yang banyak dijual di toko keperluan haji? Mohon penjelasan.

08132421xxxx

Jawab:

Ketika berihram, lelaki dilarang mengenakan pakaian yang membentuk anggota badan, walaupun tidak berjahit, karena yang dimaksud larangan memakai pakaian yang berjahit ialah memakai pakaian yang membentuk anggota tubuh sebagaimana biasanya dikenakan bila sedang tidak berihram.[]

Disalin dari Majalah As-Sunnah Th.ke-XVII_1434H/ 2013M, Rubrik Soal-Jawab hal. 6, asuhan Dr. Muhammad Arifin Badri, MA حفظه الله.

Doa Untuk Orang Pulang Haji

Soal:

Assalamu’alaikum. Ustadz, saya mau tanya, ada tidak ucapan untuk orang yang baru pulang haji?

Abu Hammam Pekalongan 08586922xxxx

Jawab:

  • Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada lafadz doa atau ucapan tertentu dari Nabi untuk orang yang baru pulang haji, namun tidak mengapa seseorang mendoakan untuk mereka dengan doa-doa yang baik dan sesuai, seperti “Semoga Allah menerima amal shalihmu”, “Semoga Allah menjadikan hajimu sebagai haji yang mabrur” dan lafadz-lafadz sejenisnya yang tidak menyimpan makna terlarang, sebab ucapan selamat dan doa kebaikan merupakan sesuatu yang disyariatkan dalam syari’at Islam, baik di hari raya maupun selainnya.
  • Oleh karena itu, banyak beberapa dalil yang menunjukkan adanya ucapan selamat pada selain hari raya, seperti ucapan para sahabat kepada Rasulullah: “Selamat untukmu atas apa yang diberikan oleh Allah kepadamu”. (Bukhori: 3939 Muslim: 1786), dan ucapan selamat dari Nabi berserta para sahabat kepada Ka’ab bin Malik tatkala Allah menerima taubatnya. (HR. Bukhori: 4156 Muslim 2769) Baca lebih lanjut

Melewati Miqot tanpa Ihrom Karena Haid

Soal:

Seorang wanita bertanya: Saya pergi umrah dan ketika melewati miqat saya pun haid. Maka saya tidak berihram dan berdiam diri di Mekkah sehingga suci, kemudian saya berihram dari Makkah. Bolehkah hal ini? Dan apa yang wajib saya lakukan?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Perbuatan ini tidak boleh. Wanita yang hendak menunaikan umrah tidak boleh melewati miqat kecuali dengan berihram, walaupun dia dalam keadaan haid. Bila seorang wanita berihram dalam keadaan haid, maka sah ihramnya. Dalilnya bahwa Asma binti Umais, isteri Abu Bakar Radhiyallahu anhu, melahirkan pada saat Nabi Shallallahu alaihi wasallam sedang berada di Dzulhulaifah hendak menunaikan haji wada’. Asma pun mengirim surat kepada beliau menanyakan apa yang hendak dia perbuat. Sabda beliau:

اِغْتَسِلِي وَاستَثْفِرِي بِثَوْبِ وَأَحْرِمِي

“Mandilah dan ikatlah dengan kain, lalu berihramlah”.

Baca lebih lanjut

Haid Setelah Ihram Umroh ?!

Soal:

Seorang pria bertanya: Saya bersama Isteri berangkat dari Yanbu’ untuk menunaikan umrah. Ketika kami tiba di Jeddah isteri mengalami haid. Maka saya menyempurnakan umrah sendirian tanpa isteri. Apa hukumnya bagi isteri saya?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Hukumnya bagi isteri Anda, supaya menunggu sampai suci kemudian melaksanakan umrah. Karena Nabi Shallallahu alaihi wasallam tatkala Sofiah radhiyallahu anha sedang haid bdiau bersabda “Apakah dia penghambat kita?”. Ketika disampaikan kepada beliau bahwa dia telah melakukan thawaf ifadhah, beliaupun beraabda: “Kalau demikian, hendaklah ia berangkat”.

Sabda beliau: “Apakah dia penghambat kita?” menunjukkan bahwa wajib bagi wanita untuk menunggu jika  mendapati haid sebelum thawaf ifadhah sehingga suci, kemudian thawaf. Demikian halnya thawaf umrah seperti thawaf ifadhah, karena merupakan salah satu rukun umrah. Jika wanita yang menunaikan mendapati haid sebelum thawaf maka dia menunggu sampai suci kemudian thawaf.[]

Disalin dari 52 Persoalan Sekitar Haid, Oleh Syaikh ibn Utsaimin, Terjemah Muhammad Yusuf Harun, Terbitan Yayasan al-Sofwa Jakarta, hal. 40-41 pertanyaan ke-47.

Apakah Tempat Sa’i bagian dari Masjidil Haram ?

Soal:

Apakah tempat sa’i merupakan bagian dari Masjidil Haram, dan boleh didekati oleh wanita haid? Dan apakah orang yang memasuki Masjidil Haram dari tempat sa’i harus mengerjakan shalat tahiyyatul masjid?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Menurut saya, tempat sa’i tidak termasuk bagian dari Masjidil Haram, karena itu dibuat dinding pemisah di antara keduanya meski dinding pendek. Tak disangsikan lagi bahwa hal ini lebih baik bagi orang-orang, karena andaikata dimasukkan menjadi bagian dari Masjid niscaya kalau wanita mendaparkan haid diantara thawaf dan sa’i maka tidak boleh baginya melakukan sa’i. Mereka yang memberikan fatwa bahwa wanita yang mendaparkan haid setelah thawaf dan sebelum sa’i boleh meneruskan sa’i karena tempat sa’i tidak termasuk bagian dari Masjid. Adapun shalat tahiyyatul masjid bisa dikatakan bahwa seseorang jika melakukan sa’i setelah thawaf kemudian kembali ke Masjid maka dia mengerjakan shalat tahiyyatul masjid; kalaupun tidak mengerjakannya tidak apa-apa. Yang afdhal dia memanfaatkan   kesempatan ini dan melakukan shalat dua rakaat mengingat keutamaan shalat di tempat ini.[]

Disalin dari 52 Persoalan Sekitar Haid, Oleh Syaikh ibn Utsaimin, Terjemah Muhammad Yusuf Harun, Terbitan Yayasan al-Sofwa Jakarta, hal. 41-42 pertanyaan ke-48.

Haid Tapi Mengerjakan Amalan Haji ?!

Soal:

Seorang wanita bertanya: Setelah saya berihram haji datanglah haid, tetapi saya merasa malu untuk memberitahu orang lain. Ketika masuk Masjidil Haram saya shalat, thawaf dan sa’i. Apa yang harus saya lakukan, dan perlu diketahul bahwa haid tersebut datang setelah nifas?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Wanita yang haid ataupun nifas tidak diperbolehkan shalat, baik di Makkah atau di negerinya atau di mana saja. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam berkenaan dengan wanita:

اَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ

“Bukankah wanita jika haid tidak shalat dan tidak pula puasa?”.

Kaum muslimin juga telah ber-ijma’ (sepakat) bahwa wanita haid tidak diperbolehkan berpuasa ataupun shalat. Untuk itu, wanita yang telah berbuat demikian hams bertaubat kepada Allah dan memohon ampunan atas kesalahannya. Adapun thawaf yang dikerjakan dalam keadaan haid tidak sah, sedangkan sa’inya sah, karena pendapat yang kuat membolehkan didahulukannya sa’i sebelum thawaf dalam haji. Maka wajib baginya mengulangi thawaf, karena thawaf ifadhah merupakah salah satu rukun haji dan tidak sempurna tahallul kedua kecuali dengannya. Atas dasar ini, wanita tadi jika telah bersuami tidak boleh digauli suaminya sebelum thawaf dan jika belum bersuami tidak boleh dinikahkan sebelum thawaf. Wallahu a’lam.[]

Disalin dari 52 Persoalan Sekitar Haid, Oleh Syaikh ibn Utsaimin, Terjemah Muhammad Yusuf Harun, Terbitan Yayasan al-Sofwa Jakarta, hal. 42-43 pertanyaan ke-49.

Haid di Arafah, Apa yang Harus Dilakukan?

Soal:

Jika wanita mendapatkan haid pada saat wukuf di Arafah, apa yang mesti dilakukannya?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Jika haid pada saat wukuf di Arafah, maka dia meneruskan hajinya dan mengerjakan apa yang dikerjakan oleh jemaah haji lainnya tapi tidak thawaf di Masjidil Haram sebelum suci.[]

Disalin dari 52 Persoalan Sekitar Haid, Oleh Syaikh ibn Utsaimin, Terjemah Muhammad Yusuf Harun, Terbitan Yayasan al-Sofwa Jakarta, hal. 43 pertanyaan ke-50.

Haid Dalam Haji dan Harus Pulang ke Negerinya

Soal:

Jika wanita mendapatkan haid setelah melempar jumrah Aqabah dan sebelum thawaf ifadhah, padahal dia dan suaminya terikat dengan rombongan dan tidak mungkin setelah itu kembali lagi. Maka apa yang harus dilakukannya?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Apabila tidak memungkinkan kembali lagi, maka hendaklah dia mengenakan kain pembalut kemudian thawaf dan tidak apa hal itu baginya karena darurat, selanjutnya menyelesaikan amalan-amalan haji lainnya.[]

Disalin dari 52 Persoalan Sekitar Haid, Oleh Syaikh ibn Utsaimin, Terjemah Muhammad Yusuf Harun, Terbitan Yayasan al-Sofwa Jakarta, hal. 43 pertanyaan ke-51.

Suci dari Nifas dan Ibadah Haji

Soal:

Jika wanita nifas telah suci sebelum 40 hari, apakah sah hajinya? Dan jika belum suci, apa yang dia perbuat padahal dia berniat menunaikan ibadah haji?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Apabila telah suci sebelum 40 hari, maka mandi kemudian shalat dan mengerjakan segala apa yang dikerjakan oleh wanita suci lainnya termasuk thawaf karena tidak ada batas minimal buat nifas.

Namun, apabila belum suci maka sah pula hajinya, tetapi tidak boleh thawaf di Masjidil Haram sebelum suci. Karena Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang wanita haid melakukan thawaf dan hukum nifas seperti haid dalam masalah ini.[]

Disalin dari 52 Persoalan Sekitar Haid, Oleh Syaikh ibn Utsaimin, Terjemah Muhammad Yusuf Harun, Terbitan Yayasan al-Sofwa Jakarta, hal. 43-44 pertanyaan ke-52.