Hukum GRATIFIKASI dan HADIAH PROYEK

Soal:

Assalamu’alaikum Ustadz

Ada sepupu saya seorang aparat yang mana ia minta pindah tugas dari kalimantan ke daerah asalnya di Jawa. Namun ia harus membayarkan sejumlah uang untuk administrasi. Yang saya tanyakan apakah uang administrasi tersebut termasuk uang sogok? Karena jumlahnya lumayan besar sekitar 40 juta, yang rencananya uang tersebut sebagian mau pinjam dari saya.

Terima kasih.

Wassalamu’alaikum…

Dari: Dodi

Jawab:

Ustadz Dr. Muhammad Arifin bin Badri menjawab:

Wa’alaikumussalam

Ya, itu sogok dan itu haram. Sebaiknya bersabar dulu. semoga Allah memberi kemudahan.

Soal:

Assalamu’alaikum Ustadz, terus apa yang sebaiknya saya katakan kepada sepupu saya tersebut agar tidak menyinggungnya?

Jawab selengkapnya:

Wa’alaikumussalam

Berikan artikel ini kepada saudara Anda:

Gratifikasi dan Hadiah Proyek

Terciptanya hubungan yang harmonis antara seluruh anggota masyarakat adalah harapan setiap muslim, tanpa terkecuali Anda. Yang demikian itu karena Anda menyadari bahwa hubungan yang harmonis merupakan sumber kejayaan umat. Sebaliknya perpecahan adalah awal dari kehancuran setiap umat. Allah berfirman, yang artinya,

وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَلاَتَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46)

Karena itulah, wajar bila dalam syariat diajarkan berbagai kiat untuk merajut persatuan. Di antara kiat manjur untuk menyuburkan kasih sayang antara dua insan adalah saling memberi hadiah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Hendaknya kalian saling memberi hadiah, karena hadiah dapat menghilangkan kebencian yang ada dalam dada. Janganlah seorang wanita meremehkan arti suatu hadiah yang ia berikan kepada tetangganya, walau hanya  berupa kikil (kaki) kambing.” (HR. At-Tirmidzi)

Dengan jelas hadis ini, menggambarkan fungsi hadiah dalam Syariat Islam. Anjuran saling memberi hadiah bertujuan mempererat hubungan kasih sayang dan mengikis segala bentuk jurang pemisah antara duapemberi dan penerima hadiah.

Hadiah Pejabat

Dengan mencermati dalil di atas dan juga lainnya dapat disimpulkan bahwa konsep memberi hadiah dalam Syariat Islam benar-benar karena latar belakang sosial, tanpa ada embel-embel komersial sedikit pun. Makna inilah yang secara tegas dinyatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadisnya tentang fungsi hadiah yang benar-benar hadiah:

Hendaknya kalian saling bertukar hadiah agar kalian saling mencintai.” (Bukhari dalam kitab Adab Mufrad)

Mungkin inilah alasan mengapa hadiah tidak pernah singgah ke rumah orang yang tak berpangkat dan miskin walaupun dia adalah orang yang patuh beragama. Namun sebaliknya, hadiah dengan berbagai jenisnya senantiasa membanjiri orang yang berpangkat atau kaya walau buruk agamanya.

Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melimpahkan tugas kepada seorang lelaki untuk memungut sedekah. Dalam menjalankan tugasnya, ternyata utusan itu menerima hadiah dari penyetor zakat. Seusai dari tugasnya lelaki tersebut berkata: “Wahai Rasulullah, harta ini adalah hasil kerjaku dan aku serakan kepadamu. Sedangkan harta ini adalah hadiah yang aku dapatkan.” Menanggapi sikap utusan tersebut tersebut, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Mengapa engkau tidak duduk-duduk saja di rumah ayah dan ibumu, lalu lihatlah: adakah engkau mendapatkan hadiah atau tidak?” Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik mimbar dan berkhutbah: Amma ba’du: Mengapa seorang utusan yang aku beri tugas, lalu ketika pulang, ia berkata: “Ini hasil tugasku sedangkan ini adalah hadiah milikku? Tidakkah ia duduk saja di rumah ayah dan ibunya, lalu dia lihat, adakah ia mendapatkan hadiah atau tidak. Sungguh demi Allah yang jiwa Muhammad ada dalam genggaman-Nya, tidaklah ada seorang dari kalian yang mengambil  sesuatu tanpa haknya (korupsi), melainkan kelak pada hari kiyamat ia akan memikul harta korupsinya. Bila dia mengambil seekor onta maka dia membawa ontanya dalam keadaan bersuara. Bila ia mengambil sapi, maka ia membawa sapinya itu yang terus melenguh (bersuara). Dan bila yang dia ambil adalah seekor kambing, maka dia membawa kambingnya itu yang terus mengembik. Sungguh aku telah menyampaikan peringatan ini.” (Muttafaqun ‘alaih)

Pada hadis ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan standar yang jelas dalam hal hadiah yang Anda terima. Hadiah yang Anda terima karena peran atau jabatan yang Anda pangku, hakikatnya adalah gratifikasi dan tentu hukumnya haram.

Pada hadis ini, Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan antara hadiah yang datang sebelum Anda menjalankan tugas dan hadiah yang datang setelah menjalankan tugas Anda. Karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Tidakkah engkau duduk-duduk saja di rumah ayah dan ibumu, lalu lihatlah, adakah engkau mendapatkan hadiah atau tidak?”

Pada hadis lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan ketentuan ini melalui sabdanya,

Hadiah para pejabat adalah korupsi.” (HR. Ahmad dan lainnya)

Hadis ini, selain menekankan pemahaman di atas, juga menjelaskan bahwa segala bentuk hadiah, baik yang berupa barang, uang, atau lainnya, statusnya dianggap sebagai suap. Sebagaimana hadiah pejabat dianggap sebagai gratifikasi walaupun pejabat terkait menjalankan tugasnya secara profesional dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Ketentuan gratifikasi secara syariat ini tentu lebih luas dari ketentuan yang ada dalam pasal 5 UU no 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU no 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pada undang-undang tersebut suatu hadiah hanya dianggap sebagai gratifikasi bila dengan maksud, supaya pegawai terkait melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. Atau hadiah tersebut diberikan terkait dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban. Baik kewajiban itu dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

Bila Anda renungkan, maka Anda pasti merasakan bahwa Syariat Islam dalam urusan gratifikasi lebih tegas dan lebih jelas. Dengan pemahaman gratifikasi secara syariah, maka segala celah praktik gratifikasi dapat dicegah dan ditanggulangi. Sedangkan undang-undang no 20 tahun 2001 masih menyisakan celah sangat lebar bagi pemberian gartifikasi. Pada undang-undang tersebut suatu hadiah dianggap sebagai gratifikasi bila dengan maksud buruk yaitu agar penerima hadiah melakukan tindakan yang bertentangan dengan kewajibannya.

Hak Pejabat

Sebagai masyarakat, tentu Anda merasa berutang budi ketika mendapatkan layanan dari seorang pejabat. Baik layanan tersebut berkaitan dengan proyek Anda atau urusan pribadi lainnya. Dan biasanya Anda ingin mengungkapkan rasa terimakasih Anda kepada pejabat tersebut dengan memberikan hadiah kepadanya. Sebagaimana pejabat terkait sering kali juga merasa telah berjasa kepada Anda yang telah mendapatkan layanannya, kerenanya ia merasa berhak untuk mendapatkan balas budi atas jasanya tersebut.

Apa yang Anda rasakan dan yang dirasakan oleh pejabat terkait, walaupun itu adalah suara batin banyak orang atau bahkan setiap orang, namun sejatinya itu tidak pada tempatnya. Betapa tidak, pejabat terkait telah mendapatkan imbalan atas pekerjaannya tersebut, berupa gaji yang diberikan oleh instansi atau perusahaan tempat dia bekerja. Dengan demikian sejatinya ia tidak berhak untuk mengambil imbalan selain yang telah ia sepakati dengan instansi atau perusahaan tempat dia bekerja.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan fakta ini dalam sabdanya,

Barang siapa yang kami limpahi tugas atas suatu pekerjaaan, hendaknya ia menyerahkan semua yang ia peroleh, sedikit ataupun banyak. Selanjutnya imbalan apapun yang (kami) berikan kepadanya atas pekerjannya itu, silahkan ia ambil. Sedangkan  segala yang ia dilarang darinya hendaknya ia tidak mengambilnya.” (HR. Muslim)

Adanya hadiah yang diberikan kepada pejabat sebagai wujud terima kasih atas layanannya, dapat dipastikan menjadi biang hilangnya amanah dan keadilan, sebagaimana yang kita rasakan di negeri kita tercinta ini. Karena itu guna menegakkan keadilan di tengah masyarakat, Islam mengharamkan segala bentuk hadiah yang diberikan kepada pejabat.

Dosa Penyuap

Sebagai rakyat atau orang yang tidak memangku jabatan, mungkin Anda berkata, dosa suap hanyalah dipikul oleh pejabat yang menerimanya, sedangkan pemberi suap dapat melenggang kangkung karena bebas dari jerat dosa suap.

Saudaraku! Persangkaan Anda di atas ternyata tidak benar. Sebagai buktinya simaklah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut,

Semoga laknat Allah menimpa penyuap dan penerima suap.” (HR. Ibnu Majah).

Karena itu, status Anda sebagai penyuap dan mereka yang disuap sama. Posisi Anda sama-sama dilaknat.[]

Disalin dari: KonsultasiSyariah.com

Download:
Hukum GRATIFIKASI dan HADIAH PROYEK
Download Word

Keutamaan Anak yang Shalih

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِي الْجَنَّةِ. فَيَقُولُ: أَنَّى هَذَا؟ فَيُقَالُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ

Dari Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda, “Sungguh seorang manusia akan ditinggikan derajatnya di surga (kelak) sampai ia bertanya, “Bagaimana (aku bisa mencapai) semua ini?” Maka dikatakan padanya, “(Ini semua) disebabkan istigfar (permohonan ampun kepada Allah yang selalu diucapkan oleh) anakmu untukmu”

(Hadits Hasan riwayat Ibnu Majah no. 3660, Ahmad (2/509) dan lain-lain. Lihat ash-Shahihah no. 1598)

Penjelasan:

Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan memiliki anak yang shaleh dan sekaligus keutamaan menikah untuk tujuan mendapatkan keturunan yang shaleh. Berlaku bagi hamba Allah yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan. Imam al-Munawi رحمه الله berkata, “Seandainya tidak ada keutamaan menikah kecuali hadits ini saja, maka cukuplah”.[1]

Anak yang shaleh termasuk sebaik-sebaik usaha yang dilakukan oleh seorang Mukmin dalam hidupnya lantaran semua amal kebaikan yang dilakukan oleh anak shaleh pahalanya akan sampai kepada orang tuanya secara otomatis dan tanpa perlu diniatkan. Sebab anak termasuk bagian dari usaha orang tuanya. Inilah makna sabda Nabi صلى الله عليه وسلم: “Jika seorang manusia mati maka terputuslah (pahala) amalnya kecuali dari tiga perkara; sedekah yang terus mengalir (pahalanya karena diwakafkan), ilmu yang terus diambil manfaatnya (diamalkan sepeninggalnya), dan anak shaleh yang selalu mendoakannya”[2]

Baca lebih lanjut

Apakah Korupsi Sama dengan Mencuri?

Korupsi TIDAK SAMA Dengan Mencuri

Soal:

Assalamu’alaikum

Apa hukuman untuk koruptor? Apakah sama hukumannya dengan pencuri, yaitu potong tangan?

Terima kasih.

Jawab:

Ustadz Dr. Erwandi Tarmidzi menjawab:

Wa’alaikumussalam

Korupsi dan Sanksi Terhadap Pelakunya

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa korupsi adalah, “Penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb.) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.” (KBBI Hal. 462).

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa harta yang diselewengkan oleh seorang pegawai koruptor adakalanya harta milik sekelompok orang tertentu, seperti perusahaan atau harta serikat dan adakalanya harta milik semua orang, yaitu harta rakyat atau harta milik negara.

Dalam tinjaun fikih, seorang pegawai sebuah perusahaan atau pegawai instansi pemerintahan, ketika  dipilih untuk mengemban sebuah tugas, sesungguhnya dia diberi amanah untuk menjalankan tugas yang telah dibebankan oleh pihak pengguna jasanya, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Karena beban amanah ini, dia mendapat imbalan (gaji) atas tugas yang dijalankannya. Ketika ia menyelewengkan harta yang diamanahkan, dan mempergunakannya bukan untuk sesuatu yang telah diatur oleh pengguna jasanya, seperti dipakai untuk kepentingan pribadi atau orang lain dan bukan untuk kemaslahatan yang telah diatur, berarti dia telah berkhianat terhadap amanah yang diembannya.

Dalam syariat, pengkhianatan terhadap harta negara dikenal dengan ghulul. Sekalipun dalam terminologi bahasa Arab, ghulul berarti sikap seorang mujahid yang menggelapkan harta rampasan perang sebelum dibagi. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, XXXI/272).

Dalam buku Nadhratun Na’im disebutkan bahwa di antara hal yang termasuk ghulul adalah menggelapkan harta rakyat umat Islam (harta negara), berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Al-Mustaurid bin Musyaddad, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang kami angkat sebagai aparatur negara hendaklah dia menikah (dengan biaya tanggungan negara). Jika tidak mempunyai pembantu rumah tangga hendaklah dia mengambil pembantu (dengan biaya tanggungan negara). Jika tidak memiliki rumah hendaklah dia membeli rumah (dengan biaya tanggungan negara). (Nadhratun Na`im, XI. Hlm. 5131)

Abu Bakar Radiyallahu anhu berkata, “Aku diberitahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa (aparat) yang mengambil harta negara selain untuk hal yang telah dijelaskan sungguh ia telah berbuat ghulul atau dia telah mencuri”. (HR. Abu Daud. Hadis ini dinyatakan shahih oleh Al-Albani).

Ibnu Hajar Al Haitami asy-Syafi’i (wafat: 974 H) berkata, “Sebagian para ulama berpendapat bahwa menggelapkan harta milik umat Islam yang berasal dari baitul maal (kas negara) dan zakat termasuk ghulul”. (Az Zawajir an Iqtirafil Kabair, jilid II, Hal. 293).

Istilah ghulul untuk korupsi harta negara juga disetujui oleh komite fatwa kerajaan Arab Saudi, dalam fatwa No. 9450, yang berbunyi, “Ghulul, yaitu: mengambil sesuatu dari harta rampasan perang sebelum dibagi oleh pimpinan perang dan termasuk juga ghulul harta yang diambil dari baitul maal (uang negara) dengan cara berkhianat (korupsi)”. (Fataawa Lajnah Daimah, jilid XII, Hal 36.)

Ini juga hasil tarjih Dr. Hanan Malikah dalam pembahasan Takyiif Fiqhiy (kajian fikih untuk menentukan bentuk kasus) tentang korupsi. (Jaraimul Fasad fil Fiqhil Islami, Hal. 99)

Hukum Potong Tangan untuk Koruptor

Apakah koruptor dapat disamakan dengan pencuri? Bila disamakan dengan pencuri, bolehkah dijatuhi hukuman potong tangan? Demikian pertanyaan mendasar yang patut kita jawab.

Allah Azza wa Jalla berfirman,

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَآءً بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ اللهِ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Maidah: 38).

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala yang memerintahkan untuk memotong tangan pencuri bersifat mutlaq. Tidak dijelaskan berapa batas maksimal harga barang yang dicuri, dimana tempat barang yang dicurinya dan lain sebagainya. Akan tetapi kemutlakan ayat diatas di-taqyid (diberi batasan) oleh hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kemudian, para ulama menyaratkan beberapa hal untuk menjatuhkan hukum potong tangan bagi pencuri. Di antaranya: Barang yang dicuri berada dalam hirz (tempat yang terjaga dari jangkauan), seperti brankas/lemari yang kuat yang berada di kamar tidur untuk barang berharga, semisal: Emas, perhiasan, uang, surat berharga dan lainnya dan seperti garasi untuk mobil. Bila persyaratan ini tidak terpenuhi, tidak boleh memotong tangan pencuri.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ditanya oleh seorang laki-laki dari suku Muzainah tentang hukuman untuk pencuri buah kurma, “Pencuri buah kurma dari pohonnya lalu dibawa pergi, hukumannya adalah dia harus membayar dua kali lipat. Pencuri buah kurma dari tempat jemuran buah setelah dipetik hukumannya adalah potong tangan, jika harga kurma yang dicuri seharga perisai yaitu: 1/4 dinar (± 1,07 gr emas).” (HR. Nasa’i dan Ibnu Majah. Menurut Al-Albani derajat hadis ini hasan).

Batas minimal barang yang dicuri seharga 1/4 dinar berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak boleh dipotong tangan pencuri, melainkan barang yang dicuri seharga 1/4 dinar hingga seterusnya.” (HR. Muslim)

Hadis ini menjelaskan maksud ayat yang memerintahkan potong tangan, bahwa barang yang dicuri berada dalam penjagaan pemiliknya dan sampai seharga 1/4 dinar.

Persyaratan ini tidak terpenuhi untuk kasus korupsi, karena koruptor menggelapkan uang milik negara yang berada dalam genggamannya melalui jabatan yang dipercayakan kepadanya. Dan dia tidak mencuri uang negara dari kantor kas negara. Oleh karena itu, para ulama tidak pernah menjatuhkan sanksi potong tangan kepada koruptor.

Untuk kasus korupsi, yang paling tepat adalah bahwa koruptor sama dengan mengkhianati amanah uang/barang yang dititipkan. Karena koruptor dititipi amanah uang/barang oleh negara. Sementara orang yang mengkhianati amanah dengan menggelapkan uang/barang yang dipercayakan kepadanya tidaklah dihukum dengan dipotong tangannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang yang mengkhianati amanah yang dititipkan kepadanya tidaklah dipotong tangannya”. (HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh Al-Albani).

Di antara hikmah Islam membedakan antara hukuman bagi orang yang mengambil harta orang lain dengan cara mencuri dan mengambilnya dengan cara berkhianat adalah bahwa menghindari pencuri adalah suatu hal yang sangat tidak mungkin. Karena dia dapat mengambil harta orang lain yang disimpan dengan perangkat keamanan apapun. Sehingga tidak ada cara lain untuk menghentikan aksinya yang sangat merugikan tersebut melainkan dengan menjatuhkan sanksi yang membuatnya jera dan tidak dapat mengulangi lagi perbuatannya, karena tangannya yang merupakan alat utama untuk mencuri, telah dipotong.

Sementara orang yang mengkhianati amanah uang/barang dapat dihindari dengan tidak menitipkan barang kepadanya. Sehingga merupakan suatu kecerobohan, ketika seseorang memberikan kepercayaan uang/barang berharga kepada orang yang anda tidak ketahui kejujurannya. (Ibnu Qayyim,  I’lamul Muwaqqi’in, jilid II, Hal. 80)

Ini bukan berarti, seorang koruptor terbebas dari hukuman apapun juga. Seorang koruptor tetap layak untuk dihukum. Di antara hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor sebagai berikut:

Pertama, koruptor diwajibkan mengembalikan uang negara yang diambilnya, sekalipun telah habis digunakan. Negara berhak untuk menyita hartanya yang tersisa dan sisa yang belum dibayar akan menjadi hutang selamanya.

Ketentuan ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap tangan yang mengambil barang orang lain yang bukan haknya wajib menanggungnya hingga ia menyerahkan barang yang diambilnya”. (HR. Tirmidzi. Zaila’i berkata, “Sanad hadis ini hasan”).

Kedua, hukuman ta’zir.

Hukuman ta’zir adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku sebuah kejahatan yang sanksinya tidak ditentukan oleh Allah, karena tidak terpenuhinya salah satu persyaratan untuk menjatuhkan hukuman hudud. (Almausuah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah,  jilid XII, hal 276.)

Kejahatan korupsi serupa dengan mencuri, hanya saja tidak terpenuhi persyaratan untuk dipotong tangannya. Karena itu hukumannya berpindah menjadi ta’zir.

Jenis hukuman ta’zir terhadap koruptor diserahkan kepada ulil amri (pihak yang berwenang) untuk menentukannya. Bisa berupa hukuman fisik, harta, kurungan, moril, dan lain sebagainya, yang dianggap dapat menghentikan keingingan orang untuk berbuat kejahatan. Di antara hukuman fisik adalah hukuman cambuk.

Diriwayatkan oleh imam Ahmad bahwa Nabi menjatuhkan hukuman cambuk terhadap pencuri barang yang kurang nilainya dari 1/4 dinar.

Hukuman kurungan (penjara) juga termasuk hukuman fisik. Diriwayatkan bahwa khalifah Utsman bin Affan Radiyallahu anhu pernah memenjarakan Dhabi bin Al-Harits karena dia melakukan pencurian yang tidak memenuhi persyaratan potong tangan.

Denda dengan membayar dua kali lipat dari nominal harga barang atau uang negara yang diselewengkannya merupakan hukuman terhadap harta. Sanksi ini dibolehkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap “Pencuri buah kurma dari pohonnya lalu dibawa pergi, hukumannya dia harus membayar dua kali lipat”. (HR. Nasa’i dan Ibnu Majah).

Hukuman ta’zir ini diterapkan karena pencuri harta negara tidak memenuhi syarat untuk dipotong tangannya, disebabkan barang yang dicuri tidak berada dalam hirz (penjagaan selayaknya).

Kesimpulan dari tulisan di atas:

1. Pegawai perusahaan atau instansi pemerintah statusnya sebagai orang yang diberi amanah.
2. Pengkhianatan terhadap harta masyarakat, lebih besar akibatnya dari pada pengkhianatan harta milik pribadi.
3. Pengkhianatan terhadap harta yang menjadi amanah disebut ghulul.
4. Termasuk kategori ghulul adalah tindak korupsi terhadap uang negara.
5. Syarat hukuman potong tangan untuk pencuri, antara lain:

  • Harus mencapai nilai minimal: 1/4 dinar (1,07 gr emas).
  • Harta yang diambil berada dalam hirz (penjagaan yang layak dari pemilik).

6. Korupsi harta negara atau perusahaan (ghulul), termasuk tindak pencurian yang tidak memenuhi syarat potong tangan. Karena pelaku mengambil harta yang ada di daerah kekuasannya, melalui jabatannya. Sehingga harta itu bukan harta yang berada di bawah hirz (penjagaan pemilik).

7. Hukuman untuk pelaku kriminal ada 2:

  • Hukuman yang ditetapkan berdasarkan ketentuan syariat, disebut hudud.
  • Hukuman yang tidak ditetapkan berdasarkan ketentuan syariat, dan dikembalikan kepada keputusan hakim, disebut ta’zir.

8. Hukuman yang diberikan untuk koruptor adalah sebagai berikut:

  • Dipaksa untuk mengembalikan semua harta yang telah dikorupsi.
  • Hukuman ta’zir. Hukuman ini bisa berupa denda, atau fisik seperti cambuk, atau dipermalukan di depan umum, atau penjara. Semuanya dikembalikan pada keputusan hakim.[]

Disalin dari: KonsultasiSyariah.com

Download:
Korupsi Tidak Sama dengan Mencuri
Download Word

Hukum Bekerja di Hotel

Soal:

Assalamu’alaikum. Ustadz, apa hukum bekerja di hotel, karena ada sebagian ikhwan yang melarangnya karena terlalu banyak maksiat. Jazakalloh. (Kukuh, Batam, 08x39136xxxx)

Jawab:

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rosululloh, keluarga, dan sahabatnya.

Pekerjaan yang salah satunya adalah bekerja di hotel adalah salah satu urusan dunia, bukan urusan ibadah. Sedangkan para ulama telah menggariskan satu kaidah umum dalam setiap urusan dunia:

الْأَصْلُ فِيْ الْعَادَاتِ الْإِبَاحَةُ

“Hukum asal pada setiap urusan dunia ialah mubah.”

Bila demikian, dapat diketahui bahwa hukum asal bekerja di perhotelan atau yang lain-nya adalah halal. Berdasarkan prinsip ini lebih jauh para ulama menegaskan bahwa orang yang mengharamkan suatu hal dari urusan dunia, maka ia berkewajiban untuk mendatangkan dalil yang menjadi dasar hukum haram tersebut. Bila ia tidak berhasil mendatangkan dalil, maka klaim haram tersebut tidak dapat diterima alias tertolak.

Baca lebih lanjut

Saya Diberi Uang Karena Sebuah Tugas

Soal:

Saya bekerja di sebuah kantor pemerintahan. Saya diberi tugas di sebuah kota tertentu dalam jangka waktu dua puluh hari. Namun saya telah menyelesaikan tugas tersebut dalam jangka waktu tujuh hari dan saya kembali pada pekerjaan saya di kantor. Beberapa waktu kemudian saya diberi uang sebagai ganti penugasan tersebut untuk waktu dua puluh hari. Apakah boleh saya menerima jumlah uang tersebut sedangkan pihak kantorpun termasuk pimpinannya mengetahui hal tersebut. Dan itu termasuk kemashlahatan dalam pandangannya. Apabila tidak diperbolehkan, apa yang harus saya lakukan?

Jawab:

Syaikh ibn Jibrin رحمه الله menjawab:

Apabila pekerjaan yang ditugaskan adalah banyak dan berat yang biasanya hanya bisa diselesaikan dalam jangka waktu dua puluh hari, namun Anda bekerja keras dan bekerja tidak seperti biasanya sehingga Anda mampu menyelesaikan banyak pekerjaan dalam jangka waktu tersebut, maka Anda berhak menerima upah sesuai kadar waktu yang panjang tersebut. Apalagi pihak kantor dan pimpinan me-ngetahuinya, sebagaimana yang Anda sebutkan di atas. Wallahul muwaffiq. (Fatawa Islamiyyah karya Al-Musnad IV/313)


Disalin dari: Fatwa-fatwa Bagi Pegawai, terbitan at-Tibyan Solo, hal. 96-97

Download:
Saya Diberi Uang Karena  Sebuah Tugas: DOC atau CHM

Baca pula:
Saya Diberi Uang Lembur

Saya Diberi Uang Lembur

Soal:

Saya bekerja di salah satu kantor pemerintahan. Terkadang kami diberi uang lembur dari kantor kami tanpa diberi tugas di luar waktu kerja tersebut dan tanpa harus datang ke kantor. Mereka menganggapnya sebagai gaji bagi para pegawai dari waktu ke waktu. Sedangkan pimpinan kantorpun mengetahui dan membiarkan hal tersebut.

Kami mohon diberikan jawaban atas hal ini, apakah boleh kami menerima uang tersebut. Jazakumullah Khairan? Apabila tidak diperboleh-kan, apa yang harus saya kerjakan atas uang yang saya terima, sedangkan saya sendiri telah menggunakan uang tersebut. Jazakumullah khairan?

Jawab: Baca lebih lanjut

Kertas yang ada Lafadz Allah

Soal:

Pekerjaan saya berkaitan langsung dengan kertas-kertas dan berbagai transaksi yang tertera di dalamnya lafadz-lafadz Allah, maka apa yang wajib saya lakukan terhadap kertas-kertas tersebut?

Jawab:

Syaikh bin Bazz رحمه الله menjawab:

Kertas-kertas yang terdapat lafadz-lafadz Allah, maka harus disimpan dan dijaga supaya tidak dihinakan dan diinjak-injak sampai selesai berurusan dengan kertas-kertas tersebut. Apabila sudah selesai dan tidak dibutuhkan lagi, maka hendaklah ditanam di tempat yang suci, dibakar atau disimpan di tempat-tempat yang terjaga supaya tidak terbuang di sembarang tempat, seperti di laci atau rak-rak dan lain sebagainya…Wallahu musta’an. (Majmu’ Fataawa Ibnu Bazz III/1149)


Disalin dari: Fatwa-fatwa Bagi Pegawai, terbitan at-Tibyan Solo, hal. 98-99

Download:
Kertas yang ada Lafadz Allah: DOC atau CHM

Baca pula:
Makan dan Minum Beralaskan Koran

Berbohong untuk Mendapatkan Cuti

Soal:

Alasan yang disampaikan oleh para pegawai kepada pimpinannya terkadang banyak yang bohong. Apa pendapat Anda?

Jawab:

Syaikh al-Fauzan خفظه الله menjawab:

Setiap muslim berkewajiban untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala dan meninggalkan perbuatan dusta dan tipu muslihat hanya sekedar untuk meninggalkan tugasnya yang telah ditugaskan kepadanya dengan mengharap gaji. Dan bagi pemimpin pada job-job tertentu yang selalu bersama dengan karyawan, hendaklah mereka selalu takut kepada Allah dan teliti dalam memberikan cuti kepada karyawan sesuai dengan metode yang benar menurut peraturan kepegawaian. Dan hendaklah mereka menutup segala pintu bagi orang-orang yang melakukan penipuan dan permainan. Karena hal ini termasuk amanah yang dibebankan kepada semua orang yang akan dimintai pertanggung jawabannya di hadapan Allah Tabaaraka wa Ta’ala. (Al-Muntaqaa Min Fatawa Al-Fauzan V/218)


Disalin dari: Fatwa-fatwa Bagi Pegawai, terbitan at-Tibyan Solo, hal. 85-86, dengan judul: Berbohong Dalam Beralasan untuk Mendapatkan Cuti

Download:
Berbohong Dalam Beralasan untuk Mendapatkan Cuti: DOC atau CHM

Hindarilah Sifat Munafik dan Suap

Soal:

Apakah orang yang mendekati pimpinannya dengan melaksanakan pekerjaan dengan baik, memberikan hadiah yang sangat berharga, pura-pura menghormatinya padahal ia tidak menyukainya bahkan berharap pimpinan terse-but segera diganti dengan yang lainnya. Apakah hal ini termasuk kemunafikan? Perlu diketahui bahwa pimpinan tersebut memiliki sifat-sifat terpuji?

Jawab:

Syaikh bin Baz رحمه الله menjawab:

Hendaklah ia mengikhlaskan diri kepada Allah dan mendo’akannya tanpa sepengetahuannya semoga Allah memberinya hidayah dan taufiq serta hendaklah ia tidak perlu memberinya hadiah. Janganlah memberi hadiah dalam posisi seperti ini, karena terkadang masuk dalam kategori suap.

Namun hendaklah ia selalu ikhlas dan mendoakannya dalam sujud dan di akhir shalatnya, semoga Allah memberinya taufiq dan menolongnya untuk menunaikan amanah. Karena seorang mukmin adalah cermin bagi saudaranya.

Jauhilah oleh Anda sikap munafiq dan perbuatan suap. Adapun ucapan yang baik maka hal itu sangatlah dianjurkan, seperti ucapan: Assalaamu ‘alaikum, bagaimana kabarmu? Bagaimana kabar keluargamu? Dan lain sebagainya.[] (Fatawa Islamiyyah, karya Al-Musnad IV/317)


Disalin dari: Fatwa-fatwa Bagi Pegawai, terbitan at-Tibyan Solo, hal. 83-84

Download:
Hindarilah Sifat Munafik dan Suap: DOC atau CHM

Shalat di Belakang Perokok

Soal:

Apa hukum shalat di belakang (menjadi makmum) imam perokok?

Jawab:

Syaikh As-Sa’di رحمه الله menjawab:

Jika Anda mendapatkan imam selainnya, maka jangan shalat di belakangnya. Namun bila Anda tidak mendapatkan imam kecuali perokok tersebut, maka hendaklah Anda shalat di belakangnya dan jangan shalat sendirian. Wallahua’lam.[] (Al-Majmu’ah Al-Kamilah Li Muallafaati As-Sa’di VII/120)


Disalin dari: Fatwa-fatwa Bagi Pegawai, terbitan at-Tibyan Solo, hal. 34

Download:
Sholat di Belakang Perokok: DOC atau CHM

Fatwa terkait:
Hukum Merokok
Hukum Bekerja di Perusahaan Rokok