Praktik Bayi Tabung Oleh Dokter Lelaki

Soal:

Assalamu ‘alaikum warahmatiillahi wabarakatuhu. Semoga kita tetap dalam lindungan Allah. Kami sudah lima tahun menikah, tapi hingga saat ini kami belum dikaruniai anak. Menurut dokter dan hasil uji laboratorium, kami keduanya dinyatakan subur, tidak ada masalah dalam hal biologis kami. Namun, ada salah satu dokter wanita yang pernah memeriksa istri saya mengatakan bahwa mulut rahim istri agak ke dalam posisinya. Yang ingin saya tanyakan; apakah hukumnya praktik bayi tabung yang dilakukan oleh dokter laki-laki? Karena, kami belum mendapatkan info bahwa saat ini sudah ada dokter perempuan yang bisa lakukan program bayi tabung. Wassalamu’alaikum.

(Wawan)

Jawab:

Wa’alaikumussalam warahmatiillahi wabarakatuhu. Tidak boleh seorang dokter laki-laki menyentuh atau berduaan dengan pasien wanita yang bukan mahramnya kecuali dalam keadaan darurat. Dan apabila harus dilakukan karena darurat maka pengobatan harus disertai mahram wanita tersebut, dilakukan sekadarnya (tidak memandang dan tidak menyentuh kecuali memang diperlukan), dan dilakukan oleh dokter yang bisa dipercaya (tidak menceritakan aurat kepada orang lain).[]

Disalin dari Majalah al-Furqon no. 147, Ed. 10 Thn. Ke-13, Rubrik Soal-Jawab, hal. 5, diasuh oleh: al-Ustadz Abdullah Roy, Lc. MA حفظه الله

Baca eBook:
Usaha Mendapatkan Momongan, didalamnya disebutkan masalah bayi tabung lebih rinci

52 Persoalan Sekitar Hukum Haid

Nama eBook: 52 Persoalan Sekitar Hukum Haid
Penyusun: Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin رحمه الله

Pengantar:

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasul Allah, Muhammad bin Abdullah, kepada keluarga dan sahabatnya, serta kepada siapa saja yang meniti jalannya sampai hari kemudian.

eBook ini adalah kumpulan fatwa yang berhungan dengan hukum-hukum seputar haid dan hubungannya dengan Ibadah, fatwa disampaikan oleh ulama yang dijuluki Ahli Fikih-nya zaman ini yakni Syaikh ibn Utsaimin.

Hukum-hukum yang beliau sampiakan dalam eBook perlu untuk diketahui oleh setiap wanita agar mendapat pemahaman dalam syari’at Allah dan dapat beribadah kepada Allah atas dasar ilmu dan penuh pengertian.

Hukum sekitar haid sangat erat hubungannya dengan ibadah dalam agama Islam yang mulia ini, yang dibahas dalam eBook ini adalah hukum haid dan hubungannya dengan kesucian dalam sholat, Ibadah sholat dan puasa serta ibadah haji dan umroh.

eBook ini kandungannya secara berseri telah diterbitkan pula di blog kita ini http://www.soaldanjawab.wordpress.com dan kami berharap kita semua di anugerahi ilmu yang bermanfaat yang mengantarkan kita kedalam jannah-Nya dan terhindar dari neraka, amin…

Download:

Download CHM atau Download ZIP atau Download PDF

Baca Pula:
Hukum Haid, Nifas dan Istihadhah

Haid dan Thawaf

Soal:

Seorang wanita bertanya: Saya telah mengerjakan ibadah haji pada tahun lalu, dan telah saya lakukan segala manasiknya kecuali thawaf ifadhah dan thawaf wada’ karena adanya udzur syar’i. Maka saya kembali pulang ke Madinah dengan tekad akan kembali lagi nanti untuk melaksanakan thawaf ifadhah dan thawaf wada’. Karena keawaman saya terhadap masalah agama, saya pun mengerjakan segala sesuatu yang terlarang dalam keadaan ihram. Ketika saya tanyakan tentang keinginan saya untuk kembali guna mengerjakan thawaf, dikatakan kepada saya bahwa tidak sah thawaf saya karena telah saya rusak sendiri dan saya harus mengulangi haji lagi pada tahun yang akan datang dengan menyembelih sapi atau unta. Apakah hal inl benar? Dan apakah ada pemecahan lain? Betulkah haji saya rusak atau batal, sehingga perlu diulangi? Mohon Syaikh berkenan memberitahukan apa yang mesti dilakukan?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Ini juga merupakan bala’ yang terjadi karena fatwa tanpa dasar ilmu. Apa yang wajib Anda lakukan, dalam keadaan seperti ini, yaitu kembali ke Makkah dan melaksanakan thawaf ifadhah saja. Tidak perlu thawaf wada’ selama Anda dalam keadaan haid ketika keluar dari Makkah, karena wanita haid tidak diharuskan thawaf wada’, berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma:

أَمَرَ النَّس أَنْ يَكُوْنَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ إِلاَّ أَّنَّهُ خُفَّفَ عَنِ الْحَائِضِ

“Rasulullah memerintahkan kepada orang-orang agar saat-saat terakhir bagi mereka berada di Baitullah (melakukan thawaf wada’), hanya saja hal itu tidak dibebankan kepada wanita haid. “

Dan menurut riwayat Abu Dawud:

أَنْ يَكُوْنَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ الطَّوَاف

“Supaya saat-saat terakhir mereka di Baitullah adalah thawaf

Juga tatkala Nabi shallallahu alaihi wasallam diberitahu bahwa Sofiah telah mengerjakan thawaf ifadhah, beliau pun bersabda: “Kalau demikian, hendaklah dia berangkat”. Ini menunjukkan bahwa wanita haid tidak berkewajiban thawaf wada’. Adapun thawaf ifadhah, maka Anda harus mengerjakannya. Sedangkan segala larangan (ihram) yang telah Anda lakukan karena tidak tahu, hal ini tidak apa-apa, karena tidak berdosa orang yang tidak mengerti telah melanggar sesuatu dari larangan ihram, berdasarkan firman Allah azza wa jalla:

رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (Al-Baqarah: 286).

Dalam hadits disebutkan bahwa Allah pun berfirman: “Telah Kuperkenankan “.

Dan firman Allah Ta’ala:

وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُم بِهِ وَلَكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ

“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu… ” (Al Ahzab: 5).

Dengan demikian, semua larangan yang dilarang oJeh Allah bagi orang yang berihram jika dikerjakan karena tidak mengerti atau lupa atau terpaksa tidak apa-apa hukumnya. Tetapi bila tidak ada halangannya, dia hams segera meninggalkan hal tersebut.[]

Disalin dari 52 Persoalan Sekitar Haid, Oleh Syaikh ibn Utsaimin, Terjemah Muhammad Yusuf Harun, Terbitan Yayasan al-Sofwa Jakarta, hal. 35-38 pertanyaan ke-43.

Wanita Perdarahan dan Sholat

Soal:

Ada orang bertanya: “Saya mempunyai ibu berusia 65 tahun dan selama 19 tahun ini bellau sudah tidak mendapatkan anak. Beliau mengalami pendarahan selama 3 tahun, dan tampaknya hal itu adalah penyakit. Karena dia akan menghadapi puasa, maka mohon dengan hormat apa nasehat yang perlu Syaikh sampaikan untuknya? Dan apa yang mesti ia lakukan?”

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Wanita seperti ini, yang mendeiita pendarahan, hukumnya yaitu meninggalkan shalat dan puasa selama seperti masa kebiasaan terdahulu sebelum terjadi hal yang menimpa dirinya tersebut. Jika menurut kebiasaannya haid datang pada awal setiap bulan selama enam hari, umpamanya, maka hendaklah dia menunggu pada awal setiap bulan selama enam hari tidak shalat dan tidak pula puasa. Bila habis masa itu, ia harus mandi, shalat dan berpuasa.

Baca lebih lanjut

Wajib Sholat Bila Suci Sebelum Habis Waktu

Soal:

Seorang wanita kedatangan haid setelah masuk waktu shalat, apakah wajib baglnya mengqadha’ shalat itu jika telah suci, demikian pula jika telah suci sebelum habis waktu shalat?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Pertama: Jika wanita kedatangan haid setelah masuk waktu shalat wajib baginya, jika telah suci, mengqadha’ shalat yang pada waktunya dia haid bila dia belum mengerjakannya sebelum datangnya haid. Berdasarkan sabda Rasulullah:

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصّلاَةَ

“Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat itu “.

Jadi, seandainya seorang wanita bisa mengerjakan sekadar satu rakaat dari waktu shalat kemudian dia kedatangan haid sebelum mengerjakannya, maka jika dia suci nanti, wajib mengqadha ‘nya.

Baca lebih lanjut

Keguguran, Apakah Harus Puasa?

Soal:

Ada seorang wanita yang tertimpa peristiwa kecelakaan pada permulaan kehamilannya dan mengalami pendarahan serius sehingga janin yang dikandungnya keguguran. Apakah boleh baginya tidak berpuasa atau harus meneruskan puasa? Jika tidak berpuasa, apakah berdosa?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Kami katakan bahwa wanita yang hamil tidak haid, sebagaimana kata Imam Ahmad rahimahullah: “Kaum wanita dapat mengetahui kehamilan dengan berhentinya haid”. Dan haid, menurut para ilmuwan, diciptakan oleh Allah azza wa jalla mempunyai hikmah sebagai sumber makanan bagi janin dalam perut si ibu. Maka jika terjadi kehamilan, terputuslah haid. Namun, ada pula wanita yang masih mengalami haid menurut kebiasaannya sebagaimana halnya sebelum kehamilan, maka haidnya dihukumi sebagai haid yang sah karena tetap terjadi padanya dan tidak terpengaruh oleh kehamilan. Dengan demikian, haid ini menghalangi segala hal yang dihalangi oleh haid wanita yang tidak hamil dan mengharuskan apa yang diharuskannya serta menggugurkan apa yang digugurkannya. Pada pokoknya, darah yang keluar dan wanita hamil ada dua macam:

Baca lebih lanjut

Haid Setelah Masuk Waktu, Apakah Harus Qadha’?

Soal:

Jika seorang wanita mengalami haid pada pk. 01.00 siang umpamanya dan dia belum mengerjakan shalat Zhuhur, apakah dia harus mengqadha’ shalat Zhuhur ini setelah suci?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah ini. Ada yang berpendapat bahwa dia tidak harus mengqadha’ shalat ini karena dia tidak meremehkan, juga tidak berdosa karena boleh baginya mengeijakan shalat sampai pada akhir waktunya. Ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa dia harus mengqadha’ shalat itu, berdasarkan keumuman sabda Nabi shallalahu alaihi wasallam:

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصّلاَةَ

“Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat itu “.

Dan sikap yang hati-hati lalah mengqadha’ shalat itu, karena hanya satu shalat saja dan tidak ada kesulitan dalam mengqadha’nya.[]

Disalin dari 52 Persoalan Sekitar Haid, Oleh Syaikh ibn Utsaimin, Terjemah Muhammad Yusuf Harun, Terbitan Yayasan al-Sofwa Jakarta, hal. 18-19 pertanyaan ke-17.

Mandi Haid Setelah Fajar Apakah Puasa Sah?

Soal:

Seorang wanita yang haid atau nifas bila suci sebelum fajar, tetapi belum mandi kecuali setelah fajar, apakah sah puasanya atau tidak?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Ya, sah puasa wanita haid yang suci sebelum fajar dan belum mandi kecuali setelah terbit fejar Juga wanita nifas, karena pada saat itu dia termasuk wanita yang beriiak ikut berpuasa, keadaannya serupa dengan orang yang wajib mandi jinabat, tatkala fajar terbit dia masih dalam keadaan junub dan belum mandi, maka puasanya adalah sah. Berdasarkan firman Allah azza wa jalla:

فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benanghitam, yaitu fajar”. (Al Baqarah: 187).

Jika Allah mengizinkan untuk menggaulinya hingga nyata fajar, berarti mandi tidak terjadi kecuali setelah terbit fajar. Dan berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu anha:

أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ أَهْلِهِ وَهَوَ صَائِمٌ

“Bahwa Nabi shallalahu alaihi wasallam suatu pagi pernah dalam keadaan junub karena menggauli isterinya,sedangkan beliau pun berpuasa”

Artinya: bahwa Nabi shallalahu alaihi wasallam tidak mandi junub kecuali setelah terbit fajar.[]

Disalin dari 52 Persoalan Sekitar Haid, Oleh Syaikh ibn Utsaimin, Terjemah Muhammad Yusuf Harun, Terbitan Yayasan al-Sofwa Jakarta, hal. 10-12 pertanyaan ke-4.

Mahram

Soal:

Ustadz, keponakan bapak si akhwat, yaitu sepupu laki-laki, apakah ia termasuk mahram bagi akhwat tersebut? Syukran.

0813985xxxx

Jawab:

Permasalahan mahram, telah dijelaskan oleh Allah عزّوجلّ; di dalam al-Qur’an, surat an-Nisa’/4 ayat 22-24 (yang artinya):

Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah di kawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian, (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Baca lebih lanjut

Kebebasan Berfikir

Soal:

Kita mendengar dan membaca ungkapan “Kebebasan Berpikir” yaitu suatu ajakan untuk berkeyakinan bebas. Apa komentar anda tentang ungkapan ini?!

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Komentar kami terhadap ungkapan tersebut; Barangsiapa yang membolehkan seorang untuk bebas berkeyakinan, menyakini agama semaunya maka dia telah kafir, karena setiap orang yang berkeyakinan bahwa seorang boleh beragama selain agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad maka dia kafir, harus dimintai taubat, bila bertaubat maka diterima dan bila tidak maka wajib dibunuh.

Agama bukanlah pemikiran, tetapi wahyu dari Allah yang diturunkan kepada para RasulNya agar diyakini oleh para hambaNya. Ungkapan ini yaitu kebebasan berpikir dengan artian kebebasan beragama harus dibuang dari kamus-kamus kitab Islam, karena akan membawa makna yang rusak, yaitu Islam dikatakan sebagai pemikiran, Nashrani adalah pemikiran dan Yahudi adalah pemikiran, sehingga syari’at hanyalah pemikiran yang diyakini oleh manusia semaunya, padahal agama samawi adalah wahyu dari Allah, bukan pemikiran.

Baca lebih lanjut