Sholat dan Wudhu Dengan Kuku Buatan

Soal:

Apakah dibolehkan shalat dan ibadah saat memakai kuku buatan, karena kuku selalu pecah akibat kekurangan kalsium dalam tubuh?

Jawab:

Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid حفظه الله menjawab:

Alhamdulillah…

Tidak mengapa memasang kuku buatan yang permanen jika sebabnya adalah pecahnya kuku secara alami karena kekurangan kalsium dalam tubuh. Adapun memasangnya dengan tujuan sebagai perhiasan dan mempercantik diri, maka hal itu tidak dibolehkan. Lihat jawaban pada soal 21724. Tidak mengapa shalat dengan kuku tersebut, dengan syarat dicopot ketika berwudu dan mandi junub agar air  sampai ke bagian bawahnya.

Disebutkan dalam Fatawa Lajnah Da’imah, 5/218, “Jika pewarna kuku tersebut memiliki partikel di atas kuku, maka tidak sah berwudu sebelum menghilangkannya, jika tidak memiliki partikel dibolehkan berwudu seperti hina (pacar).”

Jika hal tersebut berlaku bagi pewarna kuku, maka kuku buatan lebih dari itu (tidak boleh dipakai saat berwudu).

Wallahu’alam .[]

Disalin dari IslamHouse.Com yang bersumber dari IslamQa.

Download:
Download Word

Hukum Menipiskan Alis, Memanjangkan Kuku & Memakai Kutek

Soal:

  1. Apakah hukumnya menipiskan rambut yang keluar dari alis?
  2. Apakah hukumnya memanjangkan kuku dan memakai kutek, perlu diketahui bahwa saya berwudhu sebelum memakainya dan saya biarkan hingga 24 jam lalu saya buang?
  3. Bolehkah wanita berhijab tanpa menutup wajahnya apabila safar ke luar negeri?

Jawab:

Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab:

Jawaban 1:

Tidak boleh bagi wanita mengambil (mencukur) rambut kedua alis dan tidak boleh pula menipiskannya, berdasarkan hadits yang berbunyi:

أن رسول الله لَعَنَ النَّامِصَةَ وَالْمُتَنَمِّصَةَ

Bahwa Rasulullah mengutuk wanita yang menipiskan alis dan yang meminta ditipiskan alisnya.[1]

Para ulama menjelaskan bahwa mengambil rambut alis termasuk namsh (yang disebutkan dalam hadits).

Jawaban 2:

Memanjangkan kuku termasuk perbuatan menyalahi sunnah. Disebutkan dalam hadits:

قال رسول الله: الفِطْرَةُ خَمْسٌ – أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: الْخِتَانُ وَاْلاِسْتِحْدَادُ وَتَقْلِيْمُ اْلأَظَافِرِ وَنَتْفُ اْلإِبْطِ وَقَصُّ الشَّارِبِ

Baca lebih lanjut

Syarat Khulu’ (Minta Cerai)

Soal:

Kapankah seorang wanita diperbolehkan khulu’?

08527141xxxx

Jawab:

Khulu’ ialah perceraian antara pasangan suami istri dengan keridhaan keduanya, dan dengan imbalan yang diserahkan istri kepada suaminya. Allah عزّوجلّ menjelaskan permasalahan ini dalam firmanNya:

وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلا أَنْ يَخَافَا أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri utuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka ituiah orang-orang yang zhalim. (QS. al-Baqarah/2:229).

Baca lebih lanjut

Shalat di Atas Kapal Dengan Duduk?

Soal:

Apakah ada udzur untuk shalat duduk di kapal laut/penumpang yang berangkat sehari semalam? Kalau untuk lakik-laki mungkin bisa berusaha mencari tempat berdiri, tetapi untuk perempuan takut fitnah, apalagi kalau bercadar, tentu saat shalat dibuka. Akan tetapi ada yang bilang wajib berdiri selagi mampu/sehat, tak ada udzur walau di kapal. Jazakumullah.

08577141xxxx

Jawab:

Pada asalnya, shalat wajib yang dilakukan di mana saja harus dengan berdiri, kecuali jika tidak mampu karena sakit, atau karena pusing dan takut tenggelam bagi penumpang kapal, semacamnya, maka boleh dilakukan dengan duduk.

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

Dari ‘Imran bin Hushain رضي الله عنه, dia berkata: “Aku dahulu berpenyakit bawasir, lalu aku bertanya kepada Nabi ss tentang shalat, maka beliau menjawab, ‘Shalatlah dengan berdiri. Jika engkau tidak mampu, maka dengan duduk. Jika engkau tidak mampu, maka dengan berbaring’.”[1]

Baca lebih lanjut

Perwakilan Wali

Soal:

Dapatkah wali nikah diwakilkan walau tidak ada halangan, atau ada halangan karena wali nikah tuli? Mohon Redaksi untuk membahasnya, disertai dalil-dalilnya.

Endan, Plered, Purwakarta

Jawab:

Izin wali dalam pernikahan merupakan syarat sah suatu akad nikah. Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui perwalian dan derajatnya dalam pernikahan. Sehingga, bila wali wanita tidak ada, maka diganti wali berikutnya.

Pendapat yang rajih dalam permasalahan ini, ialah pendapat madzhab Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa urutan wali bagi wanita dalam pernikahan sebagai berikut.

  1. Baca lebih lanjut

Memperlakukan Ari-Ari

Soal:

Setiap ibu yang melahirkan anaknya, biasanya juga mengeluarkan semacam gumpalan darah, atau biasa disebut dengan istilah ari-ari (Jawa). Bagaimanakah perlakuan sunnah berkaitan dengan ari-ari ini? Dibuang begitu saja ataukah dikubur? Kalau dikubur, apakah ada perlakuan khusus?

Ahmad Sukisno, Tegal.

Jawab:

Dalam Islam, tidak ada perlakuan khusus terhadap ari-ari. Sebaiknya ari-ari itu dikubur di dalam tanah. Hal ini sebagaimana perkataan sebagian ulama yang menyebutkan, bahwa mengubu-rambut dan kuku itu lebih utama. Karena, kalau dibiarkan atau dibuang di sungai akan mengotori dan mendatangkan bau busuk. Begitu pula dengan ar-ari, ia bisa menimbulkan bau busuk, sehingga dapat mengganggu orang lain.

Untuk menguburnya tidak perlu dicarikan tempat khusus, seperti di samping pintu rumah atau lainnya Begitu pula tidak perlu diberi lampu penerangan khusus untuknya. Juga, tidak boleh menyertakan berbagai macam benda, seperti jarum, pensil, bawang, atau lainnya. Karena semua itu dilakukan oleh orang-orang dengan keyakinan tertentu, yang dalam Islam tidak ada dalilnya. Menyertakan berbaga macam barang dalam mengubur ari-ari termasuk perbuatan bid’ah, atau bahkan syirik, jika dilakukan karena memiliki anggapan dapat mendatangkan kebaikan ataupun menolak bencana. Wallahu a’lam.[]

Disalin dari Majalah as-Sunnah Ed.09, Th. XI_1428/2007, Rubrik Soal-Jawab hal. 8.

Download:
Download Word

Asal-Usul Hawa

Soal:

Afwan, ana mau bertanya, di surat apa dan ayat berapakah yang menjelaskan proses penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam عليه السلام? Ataukah mungkin pernah dibahas di Majalah As-Sunnah, edisi ke berapa? Jazakumullahu khairan?

0819040xxxx

Jawab:

Terlebih dulu kami sampaikan, bahwa soal yang ditanyakan tersebut belum pernah dibahas di Majalah As-Sunnah. Berikut kami mencoba untuh menjawabnya.[1]

Ada beberapa ayat yang mengisyaratkan Hawa diciptakan dari Adam, namun tidak memerinci dari bagian mana ia diciptakan. Firman Allah عزّوجلّ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. an-Nisa’/4:1).

Firman-Nya:

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ

Baca lebih lanjut

Melewati Miqot tanpa Ihrom Karena Haid

Soal:

Seorang wanita bertanya: Saya pergi umrah dan ketika melewati miqat saya pun haid. Maka saya tidak berihram dan berdiam diri di Mekkah sehingga suci, kemudian saya berihram dari Makkah. Bolehkah hal ini? Dan apa yang wajib saya lakukan?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Perbuatan ini tidak boleh. Wanita yang hendak menunaikan umrah tidak boleh melewati miqat kecuali dengan berihram, walaupun dia dalam keadaan haid. Bila seorang wanita berihram dalam keadaan haid, maka sah ihramnya. Dalilnya bahwa Asma binti Umais, isteri Abu Bakar Radhiyallahu anhu, melahirkan pada saat Nabi Shallallahu alaihi wasallam sedang berada di Dzulhulaifah hendak menunaikan haji wada’. Asma pun mengirim surat kepada beliau menanyakan apa yang hendak dia perbuat. Sabda beliau:

اِغْتَسِلِي وَاستَثْفِرِي بِثَوْبِ وَأَحْرِمِي

“Mandilah dan ikatlah dengan kain, lalu berihramlah”.

Baca lebih lanjut

Haid Setelah Ihram Umroh ?!

Soal:

Seorang pria bertanya: Saya bersama Isteri berangkat dari Yanbu’ untuk menunaikan umrah. Ketika kami tiba di Jeddah isteri mengalami haid. Maka saya menyempurnakan umrah sendirian tanpa isteri. Apa hukumnya bagi isteri saya?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Hukumnya bagi isteri Anda, supaya menunggu sampai suci kemudian melaksanakan umrah. Karena Nabi Shallallahu alaihi wasallam tatkala Sofiah radhiyallahu anha sedang haid bdiau bersabda “Apakah dia penghambat kita?”. Ketika disampaikan kepada beliau bahwa dia telah melakukan thawaf ifadhah, beliaupun beraabda: “Kalau demikian, hendaklah ia berangkat”.

Sabda beliau: “Apakah dia penghambat kita?” menunjukkan bahwa wajib bagi wanita untuk menunggu jika  mendapati haid sebelum thawaf ifadhah sehingga suci, kemudian thawaf. Demikian halnya thawaf umrah seperti thawaf ifadhah, karena merupakan salah satu rukun umrah. Jika wanita yang menunaikan mendapati haid sebelum thawaf maka dia menunggu sampai suci kemudian thawaf.[]

Disalin dari 52 Persoalan Sekitar Haid, Oleh Syaikh ibn Utsaimin, Terjemah Muhammad Yusuf Harun, Terbitan Yayasan al-Sofwa Jakarta, hal. 40-41 pertanyaan ke-47.

Apakah Tempat Sa’i bagian dari Masjidil Haram ?

Soal:

Apakah tempat sa’i merupakan bagian dari Masjidil Haram, dan boleh didekati oleh wanita haid? Dan apakah orang yang memasuki Masjidil Haram dari tempat sa’i harus mengerjakan shalat tahiyyatul masjid?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Menurut saya, tempat sa’i tidak termasuk bagian dari Masjidil Haram, karena itu dibuat dinding pemisah di antara keduanya meski dinding pendek. Tak disangsikan lagi bahwa hal ini lebih baik bagi orang-orang, karena andaikata dimasukkan menjadi bagian dari Masjid niscaya kalau wanita mendaparkan haid diantara thawaf dan sa’i maka tidak boleh baginya melakukan sa’i. Mereka yang memberikan fatwa bahwa wanita yang mendaparkan haid setelah thawaf dan sebelum sa’i boleh meneruskan sa’i karena tempat sa’i tidak termasuk bagian dari Masjid. Adapun shalat tahiyyatul masjid bisa dikatakan bahwa seseorang jika melakukan sa’i setelah thawaf kemudian kembali ke Masjid maka dia mengerjakan shalat tahiyyatul masjid; kalaupun tidak mengerjakannya tidak apa-apa. Yang afdhal dia memanfaatkan   kesempatan ini dan melakukan shalat dua rakaat mengingat keutamaan shalat di tempat ini.[]

Disalin dari 52 Persoalan Sekitar Haid, Oleh Syaikh ibn Utsaimin, Terjemah Muhammad Yusuf Harun, Terbitan Yayasan al-Sofwa Jakarta, hal. 41-42 pertanyaan ke-48.