Menerima Darah Orang Kafir

Soal:

Assalamualaikum, bagaimana hukumnya apabila seorang Muslim yang sedang sakit memerlukan tambahan darah dan dia menerima darah dari pendonor yang bukan Muslim atau yang terbiasa mengkonsumsi harta haram, karena sekarang ini saya melihat di PMI apabila sedang melakukan donor darah banyak terlihat pendonor kafir yang turut serta melakukan donor darah. Apakah di PMI dibedakan darah pendonor Muslim dan non muslim, mohon penjelasan! Jazakumullah khairan.

Iwan SM – kota Depok Jawa Barat

+62812836xxxx

Jawab:

Wa’alaikum salam warahmatullah.

 Tidak semua yang berhubungan dengan non-Muslim diharamkan atas umat Islam. Kita tidak dilarang untuk bermuamalah dengan baik kepada mereka selagi mereka tidak memerangi kita. Kita boleh memakan sembelihan ahlul kitab dan menerima hadiah dari orang kafir, meskipun mereka tidak peduli dengan kehalalan penghasilan mereka.

Begitu juga jika seorang Muslim yang membutuhkan transfusi darah untuk keselamatan dan kesehatannya, dia boleh melakukan transfusi darah dari orang lain, bahkan dari seorang kafir. Kebiasaan mereka mengkonsumsi barang haram tidak membuat darah mereka tidak boleh ditransfusi ke tubuh Muslim. Demikian para Ulama masa kini memfatwakan bolehnya transfusi darah jika diperlukan, termasuk darah dari non-muslim, bahkan kafir harbi sekalipun. Syaratnya, transfusi itu tidak menimbulkan bahaya bagi pasien yang Muslim.[1]

Dan insya Allah lembaga penyelenggara donor darah yang ditunjuk pemerintah kita sudah punya standar yang ketat tentang siapa pendonor yang layak untuk mendonorkan darahnya.[]

Disalin dari Majalah As-Sunnah Ed. 06 Th. XX_1437H/2016M, Rubrik Soal-Jawab hal.5-6.


[1]     Lihat:  Fatawa  al-Lajnah ad-Da’imah, 25/66-68.

Keluar Darah 2 Kali di Masa Haji

Soal:

Ada seorang wanita pergi menunaikan ibadah haji, lalu mendapatkan haid semenjak 5 hari dari tanggal  keberangkatannya. Setelah sampai di miqat, dia mandi dan berihram. Tatkala sampai di Makkah, dan dia masih belum suci dari haid, dia pun berada di luar Haram dan tidak mengerjakan sesuatu manasik haji atau umrah. Ketika berada dua hari di Mina, diapun suci dari haid lalu mandi dan mengerjakan segala manasik umrah. Tetapi kemudian dirinya mendapatkan darah lagi ketika mengerjakan thawaf ifadhah untuk haji, hanya saja karena malu dia teruskan mengerjakan manasik haji dan tidak memberitahu walinya kecuali setelah sampai di negerinya. Bagaimana hukum hal tersebut?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Hukum dalam masalah ini, bahwa darah yang dialaminya ketika thawaf ifadhah jika merupakan darah haid yang dikenalnya dengan kebiasaan dan rasa sakitnya, maka thawaf ifadhah itu tidak sah dan dia harus kembali ke Makkah untuk mengerjakan lagi thawaf ifadhah. Caranya: berihram dengan umrah dari miqat dan mengerjakan umrah dengan thawaf dan sa’i lalu mencukur rambut, kemudian thawaf ifadhah Namun, jika darah tadi tidak merupakan darah haid yang biasa dikenalnya, tetapi terjadi karena amat padatnya jemaah atau karena rasa takut dan lain sehagainya, maka thawafnya adalah sah menurut pendapat yang tidak mensyaratkan adanya kesucian dalam thawaf. Dalam kasus pertama, jika tidak mungkin baginya kembali ke Makkah disebabkan berasal dari negeri yang jauh, maka sah hajinya karena dia tidak dapat berbuat lebih dari itu.[]

Disalin dari 52 Persoalan Sekitar Haid, Oleh Syaikh ibn Utsaimin, Terjemah Muhammad Yusuf Harun, Terbitan Yayasan al-Sofwa Jakarta, hal. 33-34 pertanyaan ke-40.

Masa Haid: Kadang Keluar Darah, Kadang Tidak

Soal:

Jika seorang wanita pada saat kebiasannya (datang bulan) sehari mendapati darah dan sepanjang siang hari selanjutnya tidak mendapati darah, apa yang harus dia perbuat?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Tampaknya, keadaan bersih atau kering yang dialami oleh siwanita pada masa haidnya termasuk haid,karena itu tidak dianggap sebagai keadaan suci (dari haid).Untuk itu, tetap terlarang baginya apa yang terlarang bagi wanita haid.

Sebagian ulama mengatakan: ”Wanita yang mendapati sehari darah dan sehari bersih, maka darahnya adalah haid dan bersihnya adalah thuhr (suci dari haid), sehingga mencapai lima belas hari. Apabila telah mencapai limabelas hari, maka darah sesudahnya adalah istihadhah.” Ini pendapat yang masyhur dari madzhab Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah.[]

Disalin dari 52 Persoalan Sekitar Haid, Oleh Syaikh ibn Utsaimin, Terjemah Muhammad Yusuf Harun, Terbitan Yayasan al-Sofwa Jakarta, hal. 16 pertanyaan ke-12.

Melihat Darah, Namun Ragu: Haid atau Tidak

Soal:

Apabila seorang wanita melihat darah, namun tidak dapat memastikan apakah itu darah haid, bagaimana hukum puasanya pada hari ltu?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Puasanya pada hari itu adalah sah, karena pada prinsipnya bukan haid sehingga jelas baginya bahwa itu adalah darah haid.[]

Disalin dari 52 Persoalan Sekitar Haid, Oleh Syaikh ibn Utsaimin, Terjemah Muhammad Yusuf Harun, Terbitan Yayasan al-Sofwa Jakarta, hal. 12 pertanyaan ke-6.

Merasakan Darah tapi Belum Keluar

Soal:

Apabila seorang wanita merasakan adanya darah tapi belum keluar sebelum terbenam matahari, atau merasakan sakitnya datang bulan, apakah sah puasanya pada hari ltu atau wajib melakukan qadha’?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Apabila seorang wanita yang masih dalam keadaan suci merasakan tanda-tanda akan datangnya haid, sedang ia dalam keadaan puasa, tetapi belum keluar kecuali setelah terbenam matahari; atau merasakan sakitnya haid tetapi belum keluar kecuali setelah terbenam matahari, maka sah puasanya pada hari itu dan tidak wajib mengulangi jika puasa fardhu, atau tidak sia-sia pahalanya jika puasa sunat.[]

Disalin dari 52 Persoalan Sekitar Haid, Oleh Syaikh ibn Utsaimin, Terjemah Muhammad Yusuf Harun, Terbitan Yayasan al-Sofwa Jakarta, hal. 12 pertanyaan ke-5.

Tetes Darah Keluar di Bulan Ramadhan

Soal:

Apabila keluar dari seorang wanita pada siang hari bulan Ramadhan beberapa tetes darah dan hal ini berlangsung selama bulan Ramadhan sedangkan dia tetap berpuasa, apakah sah puasanya itu?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Ya, sah puasanya. Adapun tetesan darah ini bukan apa-apa, karena merupakan darah yang keluar disebabkan luka atau sakit (pendarahan). Ali bin Abu Talib radhiyallahu anhu berkata:

“Sesungguhnya tetesan darah yang terjadi ini sebagaimana halnya darah yang keluar dari hidung, bukanlah darah haid”.

Demikian diriwayatkan dari beliau.[]

Disalin dari 52 Persoalan Sekitar Haid, Oleh Syaikh ibn Utsaimin, Terjemah Muhammad Yusuf Harun, Terbitan Yayasan al-Sofwa Jakarta, hal. 10 pertanyaan ke-3.

Apakah Wanita Haid Harus Mengganti Pakaiannya?

Soal:

Apakah seorang wanita haid harus mengganti pakaiannya setelah suci, padahal pakaiannya itu tidak terkena darah atau barang najis?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Tidak harus baginya hal tersebut karena haid tidak menjadikan badan najis, tetapi darah haid menjadikan najis bagian yang terkenanya saja. Karena itu Nabi صلى الله عليه وسلم menyuruh wanita yang pakaiannya terkena darah haid agar mencuci darah itu dan shalat dengan pakainnya tadi.[]

Disalin dari 52 Persoalan Sekitar Haid, Oleh Syaikh ibn Utsaimin, Terjemah Muhammad Yusuf Harun, Terbitan Yayasan al-Sofwa Jakarta, hal. 17 pertanyaan ke-15.

Hukum Donor Darah Kepada Orang Kafir

Soal:

Apa hukum tranfusi darah/donor darah kepada orang kafir atau menerima donor darah dari orang kafir?

Jawab:

Syaikh Masyhur Hasan Salman خفظه الله menjawab :

Hukum fikih sangat terkait dengan praktek/amal bukan dengan zat. Sedekah kepada orang kafir diperbolehkan, berbuat kebajikan kepada orang kafir juga disyariatkan. Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata: ”Pada setiap yang memiliki nyawa dan hati terdapat ganjaran pahala (dalam hal berbuat kebajikan)”. Sebagaimana dalam sebuah hadis seorang wanta pelacur pada masa bani Israel masuk surga karena memberi minum seekor anjing.

Baca lebih lanjut

Keluar Warna Kuning di Masa Nifas

Soal:

Apakah hukumnya keluar warna kuning saat nifas dan semasa empat puluh hari, apakah saya shalat dan puasa?

Jawab:

Syaikh bin Baz رحمه الله menjawab:

Yang keluar dari wanita setelah melahirkan hukumnya seperti hukum nifas, sama saja ia adalah darah biasa atau berwarna kuning atau keruh, karena ia keluar di waktu yang biasa hingga sempurna empat puluh hari. Maka yang sesudahnya, jika ia berupa darah biasa dan tidak terputus maka ia adalah darah nifas dan jika tidak maka ia adalah darah istihadhah atau semisalnya.


Sumber: Kumpulan Fatwa Untuk Wanita di Bulan Ramadhan via IslamHouse.Com dengan penerjemah Muhammad Iqbal A. Gazali.

Download:

Download Word

Hukum Cuci Darah Saat Berpuasa

Soal:

Apa hukum cuci darah bagi penderita penyakit ginjal saat berpuasa, apakah ia harus mengqadha’ atau tidak?

Jawab :

Syaikh Abdul Aziz bin Baz رحمه الله menjawab:

Ia harus mengqadha’, sebab ia telah ketambahan darah segar yang masuk ke dalam tubuhnya, dan jika ditambahkan dalam tubuh itu sesuatu yang lain, maka itu merupakan pembatal puasa lainnya.[]


Disalin dari 28 Fatwa-fatwa Puasa oleh Syaikh bin Baz, ebooknya dari Maktabah Abu Salma al-Atsari, hal.47.

Baca pula:
Hukum Suntikan Ketika Berpuasa
Hukum Suntikan di Anus Saat Berpuasa