Memberi Hadiah Kepada Anak-anak di Hari Raya

Soal:

Kami punya anak-anak kecil. Di negara kami telah terbiasa pada hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha memberikan anak-anak kecil apa yang dinamakan dengan ‘Idiyyah’ yaitu uang kecil, agar mereka bergembira. Apakah pemberian hadiah semacam ini termasuk bid’ah atau tidak ada apa-apa?.

Jawab:

Alhamdulillah.

Tidak apa-apa hal itu. bahkan itu termasuk kebiasaan yang baik, memberi kegembiraan kepada orang Islam. Baik dewasa maupun anak-anak. Dimana hal itu termasuk urusan yang dianjurkan oleh agama.

Wabillahit taufik, shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para shahabatnya. Selesai.[]

Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta’

Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Abdul Aziz Ali Syaikh, Syaikh Sholeh al-Fauzan, Syaikh Bakr Abu Zaid.


Disalin dari IslamHouse.Com

Download:  Download Word

Saling Memberi Hadiah di Hari Raya, Apakah Bid’ah

Soal:

Apakah diperbolehkan memberikan kepada anggota keluarga sebagian hadiah pada waktu hari raya Adha dan hari raya fitri dan terus menerus melakukan hal itu setiap tahun, ataukah hal itu bid’ah?

Jawab:

Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid حفظه الله menjawab:

Alhamdulillah.

Tidak mengapa memberikan hadiah waktu hari raya fitri dan adha untuk keluarga dan kerabat. Karena ia adalah hari gembira dan bahagia. Dianjurkan di dalamnya menyambung (kerabat), berbuat baik, melapangkan dalam makanan dan minuman. Ini bukan termasuk bid’ah. Bahkan ia adalah perkara mubah, kebiasaan baik termasuk syiar hari raya. Oleh karena itu dilarang memberikan hadiah dan memperlihatkan kegembiraan dan kebahagiaan di hari-hari bid’ah yang tidak ada (ajaran) perayaan seperti awal tahun, hari kelahiran, atau pertengahan sya’ban karena hal ini menjadikannya hari raya.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Pada hari raya ini orang-orang saling tukar hadiah, yakni mereka memasak makanan dan mengundang sebagian kepada sebagian lainnya. Mereka berkumpul dan bergembira. Kebiasaan ini tidak mengapa karena hari raya. Sampai Abu Bakar radhiallahu’anhu ketika masuk ke rumah Rasulullah sallallahu’alai wa sallam mendapatkan dua wanita kecil bernyanyi di hari raya beliau menghadiknya. Maka Nabi sallallahu’alaihi wa sallam mengatakan, ‘Biarkan dia berdua.’ Beliau tidak mengatakan, ‘Dia dua wanita kecil. Tapi mengatakan, ‘Biarkan dia berdua, karena (sekarang) hari raya. Ini sebagai dalil bahwa ajaran (Islam) menunjukkan kemudahan terhadap para hamba. Yang mana dibukakan kepada mereka kegembiraan dan kebahagiaan di hari raya walillahil hamdu (segala puji hanya bagi Allah). (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 16/276)

Baca lebih lanjut

Hukum Menerima Hadiah dari Perusahaan Minuman Keras dan Sejenis

Soal:

Apa hukum menerima hadiah-hadiah yang didapatkan dari perusahaan-perusahaan pembuat minuman keras, ataupun perusahaan yang menjual barang-barang diharamkan, apakah hadiah-hadiah ini dibakar, dikubur, atau bagaimana?

Jawab:

Syaikh Masyhur Hasan Salman خفظه الله menjawab :

Pada dasarnya engkau tidak boleh bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan seperti ini dan tidak boleh menerima hadiah-hadiah dari mereka. Bentuk pengingkaranmu terhadap perusahaan ini yaitu dengan menolak hadiah-hadiah dari mereka, apalagi hadiah memiliki pengaruh khusus bagi hati dan membuat seseorang condong kepada yang memberikannya… jika terjadi hal-hal lain, jika Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengharamkan mengakui keberadaan pelaku-pelaku perbuatan haram namun beliau juga melarang pebuatan sia-sia, oleh karena itu jika hadiah tersebut telah diterima maka wajib disedekahkan, sebagaimana dalam kaedah  “Harta yang haram tempatnya dikeluarkan dalam bentuk sedekah” []

Disalin dari Tanya Jawab bersama Masyaikh Markaz Imam Albani pertanyaan ke-19 (pertanyaan ke-19 memuat 2 soal) yang eBooknya dari AbuSalma.

Download:
Hukum Menerima Hadiah dari Perusahaan Minuman Keras dan Sejenis
Download Word

Hukum GRATIFIKASI dan HADIAH PROYEK

Soal:

Assalamu’alaikum Ustadz

Ada sepupu saya seorang aparat yang mana ia minta pindah tugas dari kalimantan ke daerah asalnya di Jawa. Namun ia harus membayarkan sejumlah uang untuk administrasi. Yang saya tanyakan apakah uang administrasi tersebut termasuk uang sogok? Karena jumlahnya lumayan besar sekitar 40 juta, yang rencananya uang tersebut sebagian mau pinjam dari saya.

Terima kasih.

Wassalamu’alaikum…

Dari: Dodi

Jawab:

Ustadz Dr. Muhammad Arifin bin Badri menjawab:

Wa’alaikumussalam

Ya, itu sogok dan itu haram. Sebaiknya bersabar dulu. semoga Allah memberi kemudahan.

Soal:

Assalamu’alaikum Ustadz, terus apa yang sebaiknya saya katakan kepada sepupu saya tersebut agar tidak menyinggungnya?

Jawab selengkapnya:

Wa’alaikumussalam

Berikan artikel ini kepada saudara Anda:

Gratifikasi dan Hadiah Proyek

Terciptanya hubungan yang harmonis antara seluruh anggota masyarakat adalah harapan setiap muslim, tanpa terkecuali Anda. Yang demikian itu karena Anda menyadari bahwa hubungan yang harmonis merupakan sumber kejayaan umat. Sebaliknya perpecahan adalah awal dari kehancuran setiap umat. Allah berfirman, yang artinya,

وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَلاَتَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46)

Karena itulah, wajar bila dalam syariat diajarkan berbagai kiat untuk merajut persatuan. Di antara kiat manjur untuk menyuburkan kasih sayang antara dua insan adalah saling memberi hadiah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Hendaknya kalian saling memberi hadiah, karena hadiah dapat menghilangkan kebencian yang ada dalam dada. Janganlah seorang wanita meremehkan arti suatu hadiah yang ia berikan kepada tetangganya, walau hanya  berupa kikil (kaki) kambing.” (HR. At-Tirmidzi)

Dengan jelas hadis ini, menggambarkan fungsi hadiah dalam Syariat Islam. Anjuran saling memberi hadiah bertujuan mempererat hubungan kasih sayang dan mengikis segala bentuk jurang pemisah antara duapemberi dan penerima hadiah.

Hadiah Pejabat

Dengan mencermati dalil di atas dan juga lainnya dapat disimpulkan bahwa konsep memberi hadiah dalam Syariat Islam benar-benar karena latar belakang sosial, tanpa ada embel-embel komersial sedikit pun. Makna inilah yang secara tegas dinyatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadisnya tentang fungsi hadiah yang benar-benar hadiah:

Hendaknya kalian saling bertukar hadiah agar kalian saling mencintai.” (Bukhari dalam kitab Adab Mufrad)

Mungkin inilah alasan mengapa hadiah tidak pernah singgah ke rumah orang yang tak berpangkat dan miskin walaupun dia adalah orang yang patuh beragama. Namun sebaliknya, hadiah dengan berbagai jenisnya senantiasa membanjiri orang yang berpangkat atau kaya walau buruk agamanya.

Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melimpahkan tugas kepada seorang lelaki untuk memungut sedekah. Dalam menjalankan tugasnya, ternyata utusan itu menerima hadiah dari penyetor zakat. Seusai dari tugasnya lelaki tersebut berkata: “Wahai Rasulullah, harta ini adalah hasil kerjaku dan aku serakan kepadamu. Sedangkan harta ini adalah hadiah yang aku dapatkan.” Menanggapi sikap utusan tersebut tersebut, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Mengapa engkau tidak duduk-duduk saja di rumah ayah dan ibumu, lalu lihatlah: adakah engkau mendapatkan hadiah atau tidak?” Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik mimbar dan berkhutbah: Amma ba’du: Mengapa seorang utusan yang aku beri tugas, lalu ketika pulang, ia berkata: “Ini hasil tugasku sedangkan ini adalah hadiah milikku? Tidakkah ia duduk saja di rumah ayah dan ibunya, lalu dia lihat, adakah ia mendapatkan hadiah atau tidak. Sungguh demi Allah yang jiwa Muhammad ada dalam genggaman-Nya, tidaklah ada seorang dari kalian yang mengambil  sesuatu tanpa haknya (korupsi), melainkan kelak pada hari kiyamat ia akan memikul harta korupsinya. Bila dia mengambil seekor onta maka dia membawa ontanya dalam keadaan bersuara. Bila ia mengambil sapi, maka ia membawa sapinya itu yang terus melenguh (bersuara). Dan bila yang dia ambil adalah seekor kambing, maka dia membawa kambingnya itu yang terus mengembik. Sungguh aku telah menyampaikan peringatan ini.” (Muttafaqun ‘alaih)

Pada hadis ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan standar yang jelas dalam hal hadiah yang Anda terima. Hadiah yang Anda terima karena peran atau jabatan yang Anda pangku, hakikatnya adalah gratifikasi dan tentu hukumnya haram.

Pada hadis ini, Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan antara hadiah yang datang sebelum Anda menjalankan tugas dan hadiah yang datang setelah menjalankan tugas Anda. Karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Tidakkah engkau duduk-duduk saja di rumah ayah dan ibumu, lalu lihatlah, adakah engkau mendapatkan hadiah atau tidak?”

Pada hadis lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan ketentuan ini melalui sabdanya,

Hadiah para pejabat adalah korupsi.” (HR. Ahmad dan lainnya)

Hadis ini, selain menekankan pemahaman di atas, juga menjelaskan bahwa segala bentuk hadiah, baik yang berupa barang, uang, atau lainnya, statusnya dianggap sebagai suap. Sebagaimana hadiah pejabat dianggap sebagai gratifikasi walaupun pejabat terkait menjalankan tugasnya secara profesional dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Ketentuan gratifikasi secara syariat ini tentu lebih luas dari ketentuan yang ada dalam pasal 5 UU no 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU no 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pada undang-undang tersebut suatu hadiah hanya dianggap sebagai gratifikasi bila dengan maksud, supaya pegawai terkait melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. Atau hadiah tersebut diberikan terkait dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban. Baik kewajiban itu dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

Bila Anda renungkan, maka Anda pasti merasakan bahwa Syariat Islam dalam urusan gratifikasi lebih tegas dan lebih jelas. Dengan pemahaman gratifikasi secara syariah, maka segala celah praktik gratifikasi dapat dicegah dan ditanggulangi. Sedangkan undang-undang no 20 tahun 2001 masih menyisakan celah sangat lebar bagi pemberian gartifikasi. Pada undang-undang tersebut suatu hadiah dianggap sebagai gratifikasi bila dengan maksud buruk yaitu agar penerima hadiah melakukan tindakan yang bertentangan dengan kewajibannya.

Hak Pejabat

Sebagai masyarakat, tentu Anda merasa berutang budi ketika mendapatkan layanan dari seorang pejabat. Baik layanan tersebut berkaitan dengan proyek Anda atau urusan pribadi lainnya. Dan biasanya Anda ingin mengungkapkan rasa terimakasih Anda kepada pejabat tersebut dengan memberikan hadiah kepadanya. Sebagaimana pejabat terkait sering kali juga merasa telah berjasa kepada Anda yang telah mendapatkan layanannya, kerenanya ia merasa berhak untuk mendapatkan balas budi atas jasanya tersebut.

Apa yang Anda rasakan dan yang dirasakan oleh pejabat terkait, walaupun itu adalah suara batin banyak orang atau bahkan setiap orang, namun sejatinya itu tidak pada tempatnya. Betapa tidak, pejabat terkait telah mendapatkan imbalan atas pekerjaannya tersebut, berupa gaji yang diberikan oleh instansi atau perusahaan tempat dia bekerja. Dengan demikian sejatinya ia tidak berhak untuk mengambil imbalan selain yang telah ia sepakati dengan instansi atau perusahaan tempat dia bekerja.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan fakta ini dalam sabdanya,

Barang siapa yang kami limpahi tugas atas suatu pekerjaaan, hendaknya ia menyerahkan semua yang ia peroleh, sedikit ataupun banyak. Selanjutnya imbalan apapun yang (kami) berikan kepadanya atas pekerjannya itu, silahkan ia ambil. Sedangkan  segala yang ia dilarang darinya hendaknya ia tidak mengambilnya.” (HR. Muslim)

Adanya hadiah yang diberikan kepada pejabat sebagai wujud terima kasih atas layanannya, dapat dipastikan menjadi biang hilangnya amanah dan keadilan, sebagaimana yang kita rasakan di negeri kita tercinta ini. Karena itu guna menegakkan keadilan di tengah masyarakat, Islam mengharamkan segala bentuk hadiah yang diberikan kepada pejabat.

Dosa Penyuap

Sebagai rakyat atau orang yang tidak memangku jabatan, mungkin Anda berkata, dosa suap hanyalah dipikul oleh pejabat yang menerimanya, sedangkan pemberi suap dapat melenggang kangkung karena bebas dari jerat dosa suap.

Saudaraku! Persangkaan Anda di atas ternyata tidak benar. Sebagai buktinya simaklah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut,

Semoga laknat Allah menimpa penyuap dan penerima suap.” (HR. Ibnu Majah).

Karena itu, status Anda sebagai penyuap dan mereka yang disuap sama. Posisi Anda sama-sama dilaknat.[]

Disalin dari: KonsultasiSyariah.com

Download:
Hukum GRATIFIKASI dan HADIAH PROYEK
Download Word

Hindarilah Sifat Munafik dan Suap

Soal:

Apakah orang yang mendekati pimpinannya dengan melaksanakan pekerjaan dengan baik, memberikan hadiah yang sangat berharga, pura-pura menghormatinya padahal ia tidak menyukainya bahkan berharap pimpinan terse-but segera diganti dengan yang lainnya. Apakah hal ini termasuk kemunafikan? Perlu diketahui bahwa pimpinan tersebut memiliki sifat-sifat terpuji?

Jawab:

Syaikh bin Baz رحمه الله menjawab:

Hendaklah ia mengikhlaskan diri kepada Allah dan mendo’akannya tanpa sepengetahuannya semoga Allah memberinya hidayah dan taufiq serta hendaklah ia tidak perlu memberinya hadiah. Janganlah memberi hadiah dalam posisi seperti ini, karena terkadang masuk dalam kategori suap.

Namun hendaklah ia selalu ikhlas dan mendoakannya dalam sujud dan di akhir shalatnya, semoga Allah memberinya taufiq dan menolongnya untuk menunaikan amanah. Karena seorang mukmin adalah cermin bagi saudaranya.

Jauhilah oleh Anda sikap munafiq dan perbuatan suap. Adapun ucapan yang baik maka hal itu sangatlah dianjurkan, seperti ucapan: Assalaamu ‘alaikum, bagaimana kabarmu? Bagaimana kabar keluargamu? Dan lain sebagainya.[] (Fatawa Islamiyyah, karya Al-Musnad IV/317)


Disalin dari: Fatwa-fatwa Bagi Pegawai, terbitan at-Tibyan Solo, hal. 83-84

Download:
Hindarilah Sifat Munafik dan Suap: DOC atau CHM

Produk Dagang Diselipi Uang

Soal :
Saya seorang istri dari keluarga yang berkecukupan dalam ekonomi. Suami pedagang mainan yang sukses alhamdulillah. Setahun ini, dia menambah satu jenis dagangan lagi berupa makanan yang diselipi uang bagi yang beruntung. Apakah jenis ini diperbolehkan syariat? Mohon jawabannya.

Fulanah di Bumi Allah

Jawab:

Semoga Allah سبحانه و تعالي menaungi Ibu dan keluarga dengan rahmat dan keberkahan harta.

Allah  telah membuka pintu mencari ma’isyah (penghasilan) lebar-lebar. Siapapun boleh mengusahakan sesuatu demi mendapatkan penghasilan untuk mencukupi keluarga dan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Di antara pintu rezeki yang dihalalkan ialah jual-beli. Allah سبحانه و تعالي berfirman:

وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Dan Allah telah menghalalkan jual-beli serta mengharamkan riba (QS.al-Baqarah[2]: 275)

Jual-beli yang menjadi mata pencaharian banyak orang, bila dikaitkan dengan kaca mata Islam, masuk kategori pembahasan mu’amalah. Para Ulama telah memasukkan pembahasan itu dalam bab al-buyu’ (jual-beli) dalam kitab-kitab fiqih Islam. Artinya, sudah semestinya orang yang menekuni dunia perdagangan wajib -tidak bisa tidak- untuk mendalami hukum-hukum seputar jual-beli supaya tidak terjerumus dalam dusta, penipuan, riba, judi, khianat, kezhaliman, perdagangan barang-barang haram maupun melakukan sesuatu yang mengakibatkan terjadinya perbuatan haram dalam proses transaksinya.

Baca lebih lanjut