52 Persoalan Sekitar Hukum Haid

Nama eBook: 52 Persoalan Sekitar Hukum Haid
Penyusun: Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin رحمه الله

Pengantar:

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasul Allah, Muhammad bin Abdullah, kepada keluarga dan sahabatnya, serta kepada siapa saja yang meniti jalannya sampai hari kemudian.

eBook ini adalah kumpulan fatwa yang berhungan dengan hukum-hukum seputar haid dan hubungannya dengan Ibadah, fatwa disampaikan oleh ulama yang dijuluki Ahli Fikih-nya zaman ini yakni Syaikh ibn Utsaimin.

Hukum-hukum yang beliau sampiakan dalam eBook perlu untuk diketahui oleh setiap wanita agar mendapat pemahaman dalam syari’at Allah dan dapat beribadah kepada Allah atas dasar ilmu dan penuh pengertian.

Hukum sekitar haid sangat erat hubungannya dengan ibadah dalam agama Islam yang mulia ini, yang dibahas dalam eBook ini adalah hukum haid dan hubungannya dengan kesucian dalam sholat, Ibadah sholat dan puasa serta ibadah haji dan umroh.

eBook ini kandungannya secara berseri telah diterbitkan pula di blog kita ini http://www.soaldanjawab.wordpress.com dan kami berharap kita semua di anugerahi ilmu yang bermanfaat yang mengantarkan kita kedalam jannah-Nya dan terhindar dari neraka, amin…

Download:

Download CHM atau Download ZIP atau Download PDF

Baca Pula:
Hukum Haid, Nifas dan Istihadhah

Haid dan Thawaf

Soal:

Seorang wanita bertanya: Saya telah mengerjakan ibadah haji pada tahun lalu, dan telah saya lakukan segala manasiknya kecuali thawaf ifadhah dan thawaf wada’ karena adanya udzur syar’i. Maka saya kembali pulang ke Madinah dengan tekad akan kembali lagi nanti untuk melaksanakan thawaf ifadhah dan thawaf wada’. Karena keawaman saya terhadap masalah agama, saya pun mengerjakan segala sesuatu yang terlarang dalam keadaan ihram. Ketika saya tanyakan tentang keinginan saya untuk kembali guna mengerjakan thawaf, dikatakan kepada saya bahwa tidak sah thawaf saya karena telah saya rusak sendiri dan saya harus mengulangi haji lagi pada tahun yang akan datang dengan menyembelih sapi atau unta. Apakah hal inl benar? Dan apakah ada pemecahan lain? Betulkah haji saya rusak atau batal, sehingga perlu diulangi? Mohon Syaikh berkenan memberitahukan apa yang mesti dilakukan?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Ini juga merupakan bala’ yang terjadi karena fatwa tanpa dasar ilmu. Apa yang wajib Anda lakukan, dalam keadaan seperti ini, yaitu kembali ke Makkah dan melaksanakan thawaf ifadhah saja. Tidak perlu thawaf wada’ selama Anda dalam keadaan haid ketika keluar dari Makkah, karena wanita haid tidak diharuskan thawaf wada’, berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma:

أَمَرَ النَّس أَنْ يَكُوْنَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ إِلاَّ أَّنَّهُ خُفَّفَ عَنِ الْحَائِضِ

“Rasulullah memerintahkan kepada orang-orang agar saat-saat terakhir bagi mereka berada di Baitullah (melakukan thawaf wada’), hanya saja hal itu tidak dibebankan kepada wanita haid. “

Dan menurut riwayat Abu Dawud:

أَنْ يَكُوْنَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ الطَّوَاف

“Supaya saat-saat terakhir mereka di Baitullah adalah thawaf

Juga tatkala Nabi shallallahu alaihi wasallam diberitahu bahwa Sofiah telah mengerjakan thawaf ifadhah, beliau pun bersabda: “Kalau demikian, hendaklah dia berangkat”. Ini menunjukkan bahwa wanita haid tidak berkewajiban thawaf wada’. Adapun thawaf ifadhah, maka Anda harus mengerjakannya. Sedangkan segala larangan (ihram) yang telah Anda lakukan karena tidak tahu, hal ini tidak apa-apa, karena tidak berdosa orang yang tidak mengerti telah melanggar sesuatu dari larangan ihram, berdasarkan firman Allah azza wa jalla:

رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (Al-Baqarah: 286).

Dalam hadits disebutkan bahwa Allah pun berfirman: “Telah Kuperkenankan “.

Dan firman Allah Ta’ala:

وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُم بِهِ وَلَكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ

“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu… ” (Al Ahzab: 5).

Dengan demikian, semua larangan yang dilarang oJeh Allah bagi orang yang berihram jika dikerjakan karena tidak mengerti atau lupa atau terpaksa tidak apa-apa hukumnya. Tetapi bila tidak ada halangannya, dia hams segera meninggalkan hal tersebut.[]

Disalin dari 52 Persoalan Sekitar Haid, Oleh Syaikh ibn Utsaimin, Terjemah Muhammad Yusuf Harun, Terbitan Yayasan al-Sofwa Jakarta, hal. 35-38 pertanyaan ke-43.

Wanita Perdarahan dan Sholat

Soal:

Ada orang bertanya: “Saya mempunyai ibu berusia 65 tahun dan selama 19 tahun ini bellau sudah tidak mendapatkan anak. Beliau mengalami pendarahan selama 3 tahun, dan tampaknya hal itu adalah penyakit. Karena dia akan menghadapi puasa, maka mohon dengan hormat apa nasehat yang perlu Syaikh sampaikan untuknya? Dan apa yang mesti ia lakukan?”

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Wanita seperti ini, yang mendeiita pendarahan, hukumnya yaitu meninggalkan shalat dan puasa selama seperti masa kebiasaan terdahulu sebelum terjadi hal yang menimpa dirinya tersebut. Jika menurut kebiasaannya haid datang pada awal setiap bulan selama enam hari, umpamanya, maka hendaklah dia menunggu pada awal setiap bulan selama enam hari tidak shalat dan tidak pula puasa. Bila habis masa itu, ia harus mandi, shalat dan berpuasa.

Baca lebih lanjut

Wajib Sholat Bila Suci Sebelum Habis Waktu

Soal:

Seorang wanita kedatangan haid setelah masuk waktu shalat, apakah wajib baglnya mengqadha’ shalat itu jika telah suci, demikian pula jika telah suci sebelum habis waktu shalat?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Pertama: Jika wanita kedatangan haid setelah masuk waktu shalat wajib baginya, jika telah suci, mengqadha’ shalat yang pada waktunya dia haid bila dia belum mengerjakannya sebelum datangnya haid. Berdasarkan sabda Rasulullah:

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصّلاَةَ

“Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat itu “.

Jadi, seandainya seorang wanita bisa mengerjakan sekadar satu rakaat dari waktu shalat kemudian dia kedatangan haid sebelum mengerjakannya, maka jika dia suci nanti, wajib mengqadha ‘nya.

Baca lebih lanjut

Haid Setelah Masuk Waktu, Apakah Harus Qadha’?

Soal:

Jika seorang wanita mengalami haid pada pk. 01.00 siang umpamanya dan dia belum mengerjakan shalat Zhuhur, apakah dia harus mengqadha’ shalat Zhuhur ini setelah suci?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah ini. Ada yang berpendapat bahwa dia tidak harus mengqadha’ shalat ini karena dia tidak meremehkan, juga tidak berdosa karena boleh baginya mengeijakan shalat sampai pada akhir waktunya. Ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa dia harus mengqadha’ shalat itu, berdasarkan keumuman sabda Nabi shallalahu alaihi wasallam:

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصّلاَةَ

“Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat itu “.

Dan sikap yang hati-hati lalah mengqadha’ shalat itu, karena hanya satu shalat saja dan tidak ada kesulitan dalam mengqadha’nya.[]

Disalin dari 52 Persoalan Sekitar Haid, Oleh Syaikh ibn Utsaimin, Terjemah Muhammad Yusuf Harun, Terbitan Yayasan al-Sofwa Jakarta, hal. 18-19 pertanyaan ke-17.

Mandi Haid Setelah Fajar Apakah Puasa Sah?

Soal:

Seorang wanita yang haid atau nifas bila suci sebelum fajar, tetapi belum mandi kecuali setelah fajar, apakah sah puasanya atau tidak?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Ya, sah puasa wanita haid yang suci sebelum fajar dan belum mandi kecuali setelah terbit fejar Juga wanita nifas, karena pada saat itu dia termasuk wanita yang beriiak ikut berpuasa, keadaannya serupa dengan orang yang wajib mandi jinabat, tatkala fajar terbit dia masih dalam keadaan junub dan belum mandi, maka puasanya adalah sah. Berdasarkan firman Allah azza wa jalla:

فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benanghitam, yaitu fajar”. (Al Baqarah: 187).

Jika Allah mengizinkan untuk menggaulinya hingga nyata fajar, berarti mandi tidak terjadi kecuali setelah terbit fajar. Dan berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu anha:

أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ أَهْلِهِ وَهَوَ صَائِمٌ

“Bahwa Nabi shallalahu alaihi wasallam suatu pagi pernah dalam keadaan junub karena menggauli isterinya,sedangkan beliau pun berpuasa”

Artinya: bahwa Nabi shallalahu alaihi wasallam tidak mandi junub kecuali setelah terbit fajar.[]

Disalin dari 52 Persoalan Sekitar Haid, Oleh Syaikh ibn Utsaimin, Terjemah Muhammad Yusuf Harun, Terbitan Yayasan al-Sofwa Jakarta, hal. 10-12 pertanyaan ke-4.

Melewati Miqot tanpa Ihrom Karena Haid

Soal:

Seorang wanita bertanya: Saya pergi umrah dan ketika melewati miqat saya pun haid. Maka saya tidak berihram dan berdiam diri di Mekkah sehingga suci, kemudian saya berihram dari Makkah. Bolehkah hal ini? Dan apa yang wajib saya lakukan?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Perbuatan ini tidak boleh. Wanita yang hendak menunaikan umrah tidak boleh melewati miqat kecuali dengan berihram, walaupun dia dalam keadaan haid. Bila seorang wanita berihram dalam keadaan haid, maka sah ihramnya. Dalilnya bahwa Asma binti Umais, isteri Abu Bakar Radhiyallahu anhu, melahirkan pada saat Nabi Shallallahu alaihi wasallam sedang berada di Dzulhulaifah hendak menunaikan haji wada’. Asma pun mengirim surat kepada beliau menanyakan apa yang hendak dia perbuat. Sabda beliau:

اِغْتَسِلِي وَاستَثْفِرِي بِثَوْبِ وَأَحْرِمِي

“Mandilah dan ikatlah dengan kain, lalu berihramlah”.

Baca lebih lanjut

Haid Setelah Ihram Umroh ?!

Soal:

Seorang pria bertanya: Saya bersama Isteri berangkat dari Yanbu’ untuk menunaikan umrah. Ketika kami tiba di Jeddah isteri mengalami haid. Maka saya menyempurnakan umrah sendirian tanpa isteri. Apa hukumnya bagi isteri saya?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Hukumnya bagi isteri Anda, supaya menunggu sampai suci kemudian melaksanakan umrah. Karena Nabi Shallallahu alaihi wasallam tatkala Sofiah radhiyallahu anha sedang haid bdiau bersabda “Apakah dia penghambat kita?”. Ketika disampaikan kepada beliau bahwa dia telah melakukan thawaf ifadhah, beliaupun beraabda: “Kalau demikian, hendaklah ia berangkat”.

Sabda beliau: “Apakah dia penghambat kita?” menunjukkan bahwa wajib bagi wanita untuk menunggu jika  mendapati haid sebelum thawaf ifadhah sehingga suci, kemudian thawaf. Demikian halnya thawaf umrah seperti thawaf ifadhah, karena merupakan salah satu rukun umrah. Jika wanita yang menunaikan mendapati haid sebelum thawaf maka dia menunggu sampai suci kemudian thawaf.[]

Disalin dari 52 Persoalan Sekitar Haid, Oleh Syaikh ibn Utsaimin, Terjemah Muhammad Yusuf Harun, Terbitan Yayasan al-Sofwa Jakarta, hal. 40-41 pertanyaan ke-47.

Apakah Tempat Sa’i bagian dari Masjidil Haram ?

Soal:

Apakah tempat sa’i merupakan bagian dari Masjidil Haram, dan boleh didekati oleh wanita haid? Dan apakah orang yang memasuki Masjidil Haram dari tempat sa’i harus mengerjakan shalat tahiyyatul masjid?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Menurut saya, tempat sa’i tidak termasuk bagian dari Masjidil Haram, karena itu dibuat dinding pemisah di antara keduanya meski dinding pendek. Tak disangsikan lagi bahwa hal ini lebih baik bagi orang-orang, karena andaikata dimasukkan menjadi bagian dari Masjid niscaya kalau wanita mendaparkan haid diantara thawaf dan sa’i maka tidak boleh baginya melakukan sa’i. Mereka yang memberikan fatwa bahwa wanita yang mendaparkan haid setelah thawaf dan sebelum sa’i boleh meneruskan sa’i karena tempat sa’i tidak termasuk bagian dari Masjid. Adapun shalat tahiyyatul masjid bisa dikatakan bahwa seseorang jika melakukan sa’i setelah thawaf kemudian kembali ke Masjid maka dia mengerjakan shalat tahiyyatul masjid; kalaupun tidak mengerjakannya tidak apa-apa. Yang afdhal dia memanfaatkan   kesempatan ini dan melakukan shalat dua rakaat mengingat keutamaan shalat di tempat ini.[]

Disalin dari 52 Persoalan Sekitar Haid, Oleh Syaikh ibn Utsaimin, Terjemah Muhammad Yusuf Harun, Terbitan Yayasan al-Sofwa Jakarta, hal. 41-42 pertanyaan ke-48.

Haid Tapi Mengerjakan Amalan Haji ?!

Soal:

Seorang wanita bertanya: Setelah saya berihram haji datanglah haid, tetapi saya merasa malu untuk memberitahu orang lain. Ketika masuk Masjidil Haram saya shalat, thawaf dan sa’i. Apa yang harus saya lakukan, dan perlu diketahul bahwa haid tersebut datang setelah nifas?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Wanita yang haid ataupun nifas tidak diperbolehkan shalat, baik di Makkah atau di negerinya atau di mana saja. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam berkenaan dengan wanita:

اَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ

“Bukankah wanita jika haid tidak shalat dan tidak pula puasa?”.

Kaum muslimin juga telah ber-ijma’ (sepakat) bahwa wanita haid tidak diperbolehkan berpuasa ataupun shalat. Untuk itu, wanita yang telah berbuat demikian hams bertaubat kepada Allah dan memohon ampunan atas kesalahannya. Adapun thawaf yang dikerjakan dalam keadaan haid tidak sah, sedangkan sa’inya sah, karena pendapat yang kuat membolehkan didahulukannya sa’i sebelum thawaf dalam haji. Maka wajib baginya mengulangi thawaf, karena thawaf ifadhah merupakah salah satu rukun haji dan tidak sempurna tahallul kedua kecuali dengannya. Atas dasar ini, wanita tadi jika telah bersuami tidak boleh digauli suaminya sebelum thawaf dan jika belum bersuami tidak boleh dinikahkan sebelum thawaf. Wallahu a’lam.[]

Disalin dari 52 Persoalan Sekitar Haid, Oleh Syaikh ibn Utsaimin, Terjemah Muhammad Yusuf Harun, Terbitan Yayasan al-Sofwa Jakarta, hal. 42-43 pertanyaan ke-49.