Orang Tua Menafkahi Dengan Harta Haram

Soal:

Assalamu’alaikum. Ana mau tanya, ana seorang anak yang duduk di kelas 3 SMK. Ana tinggal bersama keluarga yang jauh dari agama, semuanya tidak shalat kecuali ana. Kemudian, orang tua menafkahi ana dengan cara yang haram. Bagaimana solusinya karena pada saat ini ana belum bisa cari uang sendiri karena masih sekolah dan ana takut amalan ibadah ana tidak diterima Allah karena ana diberi makan dari cara yang haram. Mohon nasihatnya.

Jawab:

Wa’alaikumussalam. Hendaknya antum jangan henti-henti menasihati orang tua dan keluarga. Kalau semua pendapatan orang tua atau sebagian besar haram maka tidak boleh antum memakan darinya kecuali dalam keadaan darurat seperti kesusahan yang sangat. Apabila nanti antum sudah mampu maka segera mencari uang sendiri yang halal. Amalan ibadah tetap diterima bila memenuhi syarat diterimanya ibadah.[]

Sumber: Majalah Al-Furqon No.149 Ed. 01 Th. Ke-14, hal.6 Rubrik Soal-Jawab Asuhan Ustadz Abdullah Roy, Lc, MA.

Hukum Tinggal di Keluarga Penentang Sunnah

Soal:

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Jika biaya listrik sebuah keluarga, ditanggung oleh anak sulung yang hasilnya berasal dari kerja di bank, bagaimana anggota ketuarga yang lain dalam memanfaatkan listrik di rumah tersebut? Apakah termasuk juga dalam kategori memakan harta yang haram juga? Bagaimana hukumnya tinggal bersama keluarga pemakan harta haram dan penentang Sunnah? Saya takut shalat saya tidak diterima?

628573249xxxx

Jawab:

Uang yang dihasilkan dari bekerja di bank ribawi termasuk harta yang haram likasbihi (karena cara memperolehnya). Uang ini tidak termasuk harta yang haram li’ainihi (karena zatnya), seperti uang curian, bangkai dan minuman memabukkan. Harta yang haram karena zatnya (li’ainihi) tidak boleh dimanfaatkan oleh siapapun. Sedangkan harta yang haram karena cara memperolehnya (likasbihi) hanya haram dipakai oleh orang yang memperolehnya langsung.

Sehubungan dengan pertanyaan, uang itu hanya haram dipakai oleh si anak sulung yang bekerja di bank ribawi. Adapun jika uang itu sampai kepada orang lain dengan cara yang halal, misalnya sebagai hadiah atau nafkah, orang lain boleh memakai uang itu.[1] Dasar hukumnya adalah bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم menerima undangan orang-orang Yahudi dan memakan makanan yang dihidangkan mereka, padahal orang-orang Yahudi pada umumnya berpenghasilan tidak bersih, baik dari riba maupun yang lain.

كَانَ رسول الله صلى الله عليه وسلم يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ، وَلا يَأْكُلْ الْصَّدَقَةَ، فَأَهْدَتْ لَهُ يَهُودِيَّةٌ بِحَيْبَرَ شَاةً مَصْلِيَّةً سَمَّتْهَا، فَأَكَلَ رسول الله صلى الله عليه وسلم مِنْهَ

Baca lebih lanjut

Mendoakan Mubtadi’

Soal:

Di dalam Majalah As-Sunnah, Edisi 03/Tahun XI/1428H/2007M, halaman 33. Penulis (Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas) memberikan doa kepada Sayyid Quthb. Ini kesalahan penulisan, percetakan, atau bolehnya mendoakan mubtadi’? Kalau boleh, sekalian saja semua nama mubtadi’ ditambah dengan doa. Termasuk doa (hafizhahullah) untuk Yusuf Qordhawi, dan yang semisal.

Ikhwan, Jagalan 08180459xxxx

Jawab:

Mubtadi’ (ahli bid’ah) ada dua, yaitu mubtadi’ yang dihukumi kafir, dan mubtadi’ yang dihukumi fasiq.

Mubtadi’ yang dihukumi kafir dan telah meninggal, maka tidak boleh didoakan agar mendapatkan ampunan dan rahmat Allah, karena hukumnya seperti orang kafir.

Baca lebih lanjut

Apakah Tempat Sa’i bagian dari Masjidil Haram ?

Soal:

Apakah tempat sa’i merupakan bagian dari Masjidil Haram, dan boleh didekati oleh wanita haid? Dan apakah orang yang memasuki Masjidil Haram dari tempat sa’i harus mengerjakan shalat tahiyyatul masjid?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Menurut saya, tempat sa’i tidak termasuk bagian dari Masjidil Haram, karena itu dibuat dinding pemisah di antara keduanya meski dinding pendek. Tak disangsikan lagi bahwa hal ini lebih baik bagi orang-orang, karena andaikata dimasukkan menjadi bagian dari Masjid niscaya kalau wanita mendaparkan haid diantara thawaf dan sa’i maka tidak boleh baginya melakukan sa’i. Mereka yang memberikan fatwa bahwa wanita yang mendaparkan haid setelah thawaf dan sebelum sa’i boleh meneruskan sa’i karena tempat sa’i tidak termasuk bagian dari Masjid. Adapun shalat tahiyyatul masjid bisa dikatakan bahwa seseorang jika melakukan sa’i setelah thawaf kemudian kembali ke Masjid maka dia mengerjakan shalat tahiyyatul masjid; kalaupun tidak mengerjakannya tidak apa-apa. Yang afdhal dia memanfaatkan   kesempatan ini dan melakukan shalat dua rakaat mengingat keutamaan shalat di tempat ini.[]

Disalin dari 52 Persoalan Sekitar Haid, Oleh Syaikh ibn Utsaimin, Terjemah Muhammad Yusuf Harun, Terbitan Yayasan al-Sofwa Jakarta, hal. 41-42 pertanyaan ke-48.

Hukum Menerima Hadiah dari Perusahaan Minuman Keras dan Sejenis

Soal:

Apa hukum menerima hadiah-hadiah yang didapatkan dari perusahaan-perusahaan pembuat minuman keras, ataupun perusahaan yang menjual barang-barang diharamkan, apakah hadiah-hadiah ini dibakar, dikubur, atau bagaimana?

Jawab:

Syaikh Masyhur Hasan Salman خفظه الله menjawab :

Pada dasarnya engkau tidak boleh bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan seperti ini dan tidak boleh menerima hadiah-hadiah dari mereka. Bentuk pengingkaranmu terhadap perusahaan ini yaitu dengan menolak hadiah-hadiah dari mereka, apalagi hadiah memiliki pengaruh khusus bagi hati dan membuat seseorang condong kepada yang memberikannya… jika terjadi hal-hal lain, jika Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengharamkan mengakui keberadaan pelaku-pelaku perbuatan haram namun beliau juga melarang pebuatan sia-sia, oleh karena itu jika hadiah tersebut telah diterima maka wajib disedekahkan, sebagaimana dalam kaedah  “Harta yang haram tempatnya dikeluarkan dalam bentuk sedekah” []

Disalin dari Tanya Jawab bersama Masyaikh Markaz Imam Albani pertanyaan ke-19 (pertanyaan ke-19 memuat 2 soal) yang eBooknya dari AbuSalma.

Download:
Hukum Menerima Hadiah dari Perusahaan Minuman Keras dan Sejenis
Download Word

Suap yang HALAL

Soal:

Adakah suap yang diperbolehkan oleh Islam? Mohon dalilnya

Dari: Iksan Taufik

Jawab:

Ustadz Dr. Muhammad Arifin Baderi menjawab:

Menyadari keharaman suap, tentu menjadikan Anda waspada. Namun kadang kala Anda tidak berdaya, karena ada sebagian pemangku wewenang yang dengan sengaja menghalang-halangi hak Anda, kecuali bila Anda memberinya apa yang ia inginkan.

Pada kondisi semacam ini, Anda dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama pahit:

  1. Menuruti keinginan pejabat nakal tersebut.
  2. Merelakan hak Anda untuk selama-lamanya.

Kedua pilihan ini tentu sama-sama berat, namun bila dibanding-bandingkan, maka pilihan pertama seringkali terasa lebih ringan akibatnya. Yang demikian itu, karena pada opsi pertama sebagian hak Anda dirampas, namun nilainya lebih kecil bila dibanding apa yang berhasil Anda selamatkan.

Imam Al Mawardi menyatakan, “Terkait hukum memberi suap, bila motivasinya melakukan hal tersebut demi menyemalatkan haknya atau menghindari perilaku semena-mena, maka tidak haram. Kasus ini serupa dengan perbuatan menebus tawanan perang dengan sebagian harta.” (Al-Hawi Al-Kabir, 16:284)

Walau demikian, perlu diingat bahwa pejabat penerima suap berdosa dan haram baginya menikmati uang suap Anda. Karena penegasan Imam Al Mawardi hanya berlaku untuk korban suap, bukan pejabat yang disuap.[]

_______________

Disalin dari: KonsultasiSyariah.com

Download:
Suap yang HALAL
Download Word

Hari-hari yang Dilarang Berpuasa

Soal:

Hari-hari apa sajakah yang dimakruhkan (dibenci) berpuasa?

Jawab:

Syaikh bin Baz رحمه الله menjawab:

Hari-hari yang terlarang berpuasa pada hari itu adalah hari Jumat. Tidak boleh menyendirikan puasa sunah pada hari Jumat saja, karena Rasul صلى الله عليه وسلم melarangnya. Demikian juga menyendirikan puasa sunah pada hari Sabtu saja. Tetapi jika ia memuasai hari Jumat dengan Sabtu atau dengan Kamis bersamaan, tidaklah mengapa, sebagaimana hadits-hadits dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم.

Dilarang juga berpuasa pada hari raya Idul Fitri karena hukumnya haram. Juga pada hari kurban (Idul Adha) dan hari-hari Tasyrik. Semua hari-hari tersebut tidak boleh dipuasai, karena Rasul صلى الله عليه وسلم melarangnya. Untuk hari-hari Tasyrik, ada dalil yang menunjukkan kebolehan puasa di hari itu khusus bagi yang berhaji Tamattu’ dan Qiran, yaitu bagi yang tidak mampu hadyu (menyembelih hewan sembelihan). Ini sebagaimana yang valid dalam Hadits al-Bukhari dari Aisyah رضي الله عنها dan Ibnu Umar رضي الله عنهما. Keduanya berkata: Baca lebih lanjut

Bolehkah Menikahi Saudara Beda Bapak (Seibu)?!

Soal:

Ustadz, apakah boleh menikah dua orang anak dari satu ibu tapi dari dua orang bapak? (Bapak yang pertama meninggal dan menyisakan satu anak, kemudian ibu menikah lagi dan mendapatkan satu anak juga). Dedy Trisna, Palembang (08526792xxxx)

Jawab:

Ada tiga masalah untuk menjawab soal di atas:

1. Jika yang dimaksud dua anak yaitu laki dan perempuan, keduanya ingin menikahinya padahal seibu walaupun beda bapak, maka hukumnya haram, karena ada dua hal:

Pertama: Menikahi saudarinya, karena mereka berdua statusnya saudara seibu walaupun beda ayah.

Kedua: Jika ibu menyusui keduanya, berarti menikahi saudara sepersusuan.

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan…. (QS. an-Nisa’ [4]: 23)

2. Jika kedua anak itu perempuan, lalu ada seseorang yang berhajat untuk menikahi keduanya sekaligus, hukumnya pun haram, karena dia berdua saudara seibu dan juga saudara sepersusuan. Dalilnya:

وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً

… dan (diharamkan) menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. an-Nisa’ [4]: 23)

Yang dimaksud kecuali yang telah terjadi pada masa lampau adalah pada zaman jahiliyah, mereka tidak berdosa karena belum turun ayat ini, sebagaimana dijelaskan oleh Abu Huroiroh, Ibnu Abbas, dan Zaid bin Tsabit رضي الله عنهم. (Lihat Tafsir al-Qurthubi 17/94)

Jika terlanjur dinikahi, maka harus dicerai salah satunya.

3. Seperti pada no. 2, apabila salah satunya sudah dinikah, lalu dicerai atau meninggal dunia, maka boleh menikahi saudari lainnya. Wallohu A’lam. (Al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron)

Sumber:
Blog Al-Mawaddah