Sholat Orang yang Masbuq, Jika Imam Kelebihan Rakaat

Soal:

Apabila ada seseorang yang shalat dibelakang imam, misalnya shalat Zhuhur. Orang ini datang terlambat sehingga tertinggal satu raka’at dari imam. Saat itu, imam lupa dalam shalatnya dan menambah raka’at kelima. Pertanyaannya, jika dia tahu bahwa imam tadi lupa, apakah makmum yang tertinggal satu raka’at itu harus menambah satu raka’at setelah imam salam ataukah dia cukup dengan empat raka’at yang dikerjakan bersama imam tadi? Mohon penjelasan! jazakumullah khairan.

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin رحمه الله menjawab:

Pendapat yang shahih (benar) dalam masalah ini adalah orang yang masbuq (tertinggal shalat berjama’ah-red) dalam keadaan seperti ini tidak perlu menambah satu raka’atnya yang tertinggal setelah sempurna shalatnya. Karena sang imam, ketika dia shalat lima raka’at dalam keadaan lupa, shalatnya tetap sah, karena memiliki udzur. Sedangkan makmum yang masbuq ini, jika dia menambahkan satu raka’at setelah imamnya salam, berarti dia telah melakukan shalat (Zhuhur-red) lima raka’at secara sengaja, ini menyebabkan shalatnya batal. Namun jika dia ikut salam bersama imam, berarti dia telah melakukan ibadah shalat (Zhuhur-red) sempurna empat raka’at. Inilah yang wajib atasnya. Baca lebih lanjut

Bermakmum Kepada Imam yang Korupsi

 Soal:

Assalamu’alaikum. Ustadz, bolehkah saya bermakmum dalam shalat kepada imam yang korupsi?

(Wirto, Tegal)

Jawab:

Wa’alaikumussalam. Selama shalat imam tersebut sah, maka boleh kita bermakmum kepadanya. Dan maksiat bukan termasuk hal yang menjadikan shalat seseorang tidak sah. Wallahu A’lam.[]

Disalin dari Majalah al-Furqon no. 147, Ed. 10 Thn. Ke-13, Rubrik Soal-Jawab, hal. 5, diasuh oleh: al-Ustadz Abdullah Roy, Lc. MA حفظه الله

Baca eBook:
Islam VS KKN, yang didalamnya dibahas dengan luas masalah KKN

Bila Imam Memaksa Makmum Menyelisihi Sunnah

Soal:

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu. Segala puji bagi Allah عزّوجلّ serta shalawat dan salam selalu kita limpahkan kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan para sahabat.

Bismillah. Saya pelanggan Majalah Al Furqon, ingin menanyakan: Apakah sah shalat seorang diri di belakang imam pada kondisi jama’ah hanya berdua dengan imam, padahal makmum tersebut sudah berdiri di samping imam, namun imam tetap meminta makmum agar tetap di belakangnya dengan agak sedikit sebelah kanan? Jazakumullahu khairan katsiran. (Hamba Allah, Sambas – Kalbar; nama asli dan alamat e-mail ada pada Redaksi)

Jawab:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuhu. Shalat yang dilakukan tetap sah, insya Allah, namun kurang sempurna. Cara yang benar adalah dengan berdiri persis di sebelah kanan imam.

Baca lebih lanjut

Terawih Sampai Selesai atau Tahajjud

Soal:

Seseorang sudah melakukan shalat tarawih sampai selesai termasuk witir. Malam harinya dia ingin melakukan shalat tahajjud, apa yang harus dia lakukan ? Bolehkah kita melakukan shalat tahajjud setelah shalat witir ? Bagaimana hukum melakukan shalat witir dua kali dalam semalam ?

Jawab:

Bagi yang telah melaksanakan shalat tarawih sebanyak 11 rakaat, maka itu sangat bagus sekali, dan cukup. Lebih baik mencukupkan diri dengan apa yang telah ia kerjakan, sedangkan waktu yang masih tersisa atau ketika ia terjaga kembali ada baiknya bila digunakan untuk memperbanyak doa atau bacaan al-Qur’an atau amal ibadah lainnya.

Baca lebih lanjut

Apakah Khatib Harus Bentindak Imam

Soal:

Orang yang menjadi khatib jumat, apakah harus menjadi imam sholat?

Jawab:

Syaikh Masyhur Hasan Salman خفظه الله menjawab :

Sholat dan Khutbah jumat adalah Ibadah, dalam hal ini petunjuk yang diajarakan Rasulullah bahwa siapa yang menjadi Imam dialah yang menjadi khatib, jika tidak maka perbuatan tersebut adalah menyelisihi Sunnah. Namun jika yang menjadi Imam bukan khatib,  solat tetap sah walaupun tidak sesuai dengan sunnah. Ulama yang membahas perkara ini diantaranya Imam Syaukani dalam karyanya “As-Saiful Jarrar”.[]

Disalin dari Tanya Jawab bersama Masyaikh Markaz Imam Albani pertanyaan ke-9 yang eBooknya dari AbuSalma.

Download:
Apakah Khatib Harus Bentindak Imam
Download Word

Apakah Imam ber-Takbir Ketika Sujud Sajadah

Soal:

Jika seorang Imam membaca ayat yang terdapat di dalamnya sajadah dan dia ingin sujud apakah dia harus takbir atau tidak?

Jawab:

Syaikh Dr. Musa Alu Nashar خفظه الله menjawab :

Dalam hal ini Ibn Taimiyyah menyebutkan tiga pendapat, pertama: Dia harus bertakbir ketika akan sujud dan ketika bangkit dari sujud. Pendapat kedua: dia harus bertakbir ketiak akan sujud dan tidak perlu bertakbir ketika bangkit dari sujud. Pendapat ketiga: dia tidak bertakbir baik ketika akan sujud ataupun ketika bangkit dari sujud. Pendapat terakhir inilah kelihatannya yang dipegang dan dikuatkan oleh Syaikh kami (Al-Albani).

Baca lebih lanjut

Karramallahu Wajhahu untuk Sahabat Ali

DO’A KARAMALLAHU WAJHAHU UNTUK
SAHABAT NABI ALI BIN ABI THALIB
رضي الله عنه

Soal:

Assalamu’alaikum. Ustadz, dalam beberapa buku sering kita dapati do’a Karramallahu wajhahu untuk Sahabat Ali bin Abi Thalib, apakah ini dibenarkan ataukah ini adalah ajaran Syi’ah? Mohon penjelasan. Jazakumullahu khairan.

(Hamba Allah, o8ixxxx)

Jawab:

Wa’alaikumussalam. Tidak boleh mengkhusus-kan Sahabat Ali bin Abi Thalib dengan do’a tersebut. Hendaknya beliau dido’akan dengan do’a yang umum untuk para sahabat yaitu radhiyallahu ‘anhu (semoga Allah عزّوجلّ meridhainya).

Imam Ibnu Katsir Asy-Syafi’i رحمه الله berkata, “Sering ditemukan dalam tulisan kitab ungkapan yang dikhususkan untuk Ali bin Abi Thalib ‘alaihi salam‘ atau ‘karramallahu wajhahu‘ tanpa sahabat lainnya. Hal ini sekalipun maknanya benar, namun hendaknya disamakan dengan para sahabat lainnya, karena hal ini termasuk pengagungan dan kemuliaan. Abu Bakar, Umar, dan Utsman lebih utama darinya. Semoga Allah meridhai mereka semua.” (Tafsir al-Qur’anil Azhim oleh Ibnu Katsir 6/478-479, tahqiq Sami Salamah, Daru Thaibah, KSA)

Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid رحمه الله mengatakan, “Karena orang-orang Rafidhah, musuh-musuh Ali dan keluarganya, telah menjadikan do’a ini sebagai syi’ar mereka, hendaknya Ahlussunnah menyelisihi mereka. Benar, mereka memiliki beberapa alasan seperti karena Ali tidak pernah melihat aurat sedikit pun atau karena tidak pernah sujud kepada patung sekali pun, maka alasan-alasan ini tidak benar karena ini bukan hanya khusus Ali tetapi juga para sahabat lainnya yang lahir dalam masa Islam, apalagi berita seperti itu masih embutuhkan verifikasi tentang keautentikan  (keabsahan)nya.” (Mu’jamul Manahi Lafzhiyyah karya Syaikh Bakr Abu Zaid hl. 454, Darul Ashimah, KSA, cet. ketiga)

Baca lebih lanjut

Hukum Mendahului Gerakan Imam

Soal:

Ustadz, saya mau bertanya. Ustadz, menurut yang sudah saya ketahui bahwa sujud dalam shalat bukan berarti kulit kita yang bersentuhan dengan lantai, jadi kalau pakai cadar tidak apa-apa, tanpa harus melepas cadarnya. Namun saya tidak bisa menjelaskan masalah ini. Pendapat yang rajih, bagaimana ustadz ? Masalah lain yang ingin saya tanyakan yaitu dalil yang menjelaskan bahwa makmum tidak boleh mendahului imam dalam shalat ? Pertanyaan berikutnya tentang sujud yang paha tidak boleh bersentuhan dengan perut.

Jazakumullahu khairan. 6281314308100

Jawab:*)

Kami akan membagi pertanyaan saudara menjadi tiga pertanyaan:

Pertama, tentang sujud dalam shalat, apakah anggota sujud harus langsung bersentuhan dengan tanah atau lantai, ataukah boleh terhalang oleh sesuatu, termasuk cadar ?

Kedua, hukum mendahului gerakan imam dalam shalat.

Ketiga, bagaimana posisi badan dalam sujud, apakah paha bersentuhan dengan perut atau tidak ?

2. Hukum Mendahului Gerakan Imam Dalam Shalat

Untuk pertanyaan kedua, kami jawab bahwa makmum wajib mengikuti gerakan imam dalam shalat dan tidak boleh mendahuluinya dalam semua gerakan; baik takbir, ruku’, sujud dan lain sebagainya, sebagaimana disebutkan dalam hadits:

إِنَّمَا جُعِلَ اَلْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلاَ تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اَللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ, فَقُولُوا اَللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ اَلْحَمْدُ وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا

Baca lebih lanjut

Mana yang Benar?

Soal:

Pada majalah As-Sunnah edisi 08/THN XIII Dzulqa’dah 1430 H/ November 2009 M, hlm. 5, disebutkan bahwa Imam Ahmad berfatwa, makmum qunut. Tetapi di dalam Syarh Masail Jahiliyah, karya Syaikh Shalih Alu Syaikh, beliau menukil dari Masail Imam Ahmad, bahwa Imam Ahmad berpendapat bahwa makmum tidak usah ikut qunutnya imam. (Majalah Fatawa vol 3 no. 8, Juli 2007), mohon penjelasan !

8131402xxx

Jawab:

Sebagaimana antum lihat, bahwa kami menukil dari penjelasan Imam Ibnu Hubairah dalam kitab beliau Al-Ifshah juz 1, hlm. 324. Maka jawaban kami atas hal itu, bahwa bisa jadi memang ada dua riwayat dari pendapat Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله dalam masalah ini. Sebagaimana kita dapatkan pada banyak masalah, riwayat dari Imam Ahmad sering lebih dari satu pendapat. Ini bukan berarti Imam Ahmad plin-plan dalam pendapatnya. Akan tetapi, karena bertambahnya ilmu seseorang, maka pendapatnya terkadang berubah menuju kepada kebenaran; atau karena berubah ijtihad dengan sebab perbedaan situasi dan kondisi yang ada; atau sebab lainnya. Sebagaimana Imam Syafi’i رحمه الله memiliki pendapat-pendapat yang berbeda dalam berbagai masalah ketika beliau رحمه الله berpindah dari Irak ke Mesir. Pendapat-pendapat beliau ketika tinggal di Irak disebut dengan al-qaulul qadim (pendapat lama), sedangkan pendapat-pendapat beliau setelah tinggal di Mesir disebut dengan al-qaulul jadid (pendapat baru). Kita tetap harus husnuzhan (berbaik sangka) kepada para Ulama. Dan sebagai tambahan, bahwa pendapat-pendapat para Ulama semuanya, jika terjadi perbedaan, maka dipilih yang sesuai atau mendekati al-Qur’an dan Sunnah serta pendapat para Sahabat. Jika para Ulama tidak berselisih, maka itu merupakan hujjah, karena hal itu sebagai ijma’. Wallahu a’lam.[]

_________

Disalin dari Majalah As-Sunnah No.11/Thn. XIII_1431 H/ 2010 M, rubrik Soal-Jawab, hal. 6

Download:
Mana yang Benar?!
Download Word

Bagimana Imam Memendekkan Sholat

Soal:

Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh. Kami mendengar hadits yang berisi perintah bahwa jika kita sedang menjadi imam sholat, maka kita harus memendekkan sholat tersebut. Apakah yang dimaksud memendekkan sholat di sini, dan bagaimana praktiknya yang benar? Apakah harus membaca surat-surat pendek saja seperti al-Ikhlash, an-Nas, dan semisalnya? Kami mohon jawaban beserta dalil serta penerapan yang benar menurut pemahaman yang benar pula, karena sebagian kami menjadi imam sholat lima waktu di masjid. Terima kasih atas penjelasannya. (ZA, 08xxx0849xxx)

Jawab:

Wa’alaikumussalam warohmatullohi wabarokatuh.

Dalam hal panjang dan pendeknya bacaan, telah dibedakan oleh Rosululloh صلى الله عليه وسلم antara sholat sendirian dan sholat berjama’ah. Beliau bersabda:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ مِنْهُمْ الضَّعِيفَ وَالسَّقِيمَ وَالْكَبِيرَ وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ

Jika di antara kamu sholat mengimami manusia, maka hendaklah meringkas, karena di antara mereka ada yang lemah, orang sakit, dan orang tua. Akan tetapi, jika sholat sendirian, maka hendaklah memanjangkan semaunya.” (HR. Bukhori: 662)

Akan tetapi, bukanlah yang dimaksudkan meringkas sholat adalah membaca setiap roka’atnya dengan surat-surat pendek seperti al-Ikhlash dan an-Naas atau semisalnya. Kita harus mema-hami maksud hadits di atas sebagaimana yang diinginkan oleh pembuat syari’at yang mulia ini, dan jika penafsiran suatu hadits dikembalikan (dipasrahkan) kepada semua manusia, niscaya mereka akan berbeda penafsiran dan akan terus berselisih. Suatu misal tentang penafsiran hadits ini, seorang penghafal al-Qur’an akan menga-takan bahwa Surat al-Anfal, Surat Yusuf, Surat Yunus, dan semisalnya adalah surat-surat yang pendek (karena dia telah menghafalnya di luar kepala), sementara orang yang tidak mempunyai hafalan al-Qur’an akan mengatakan bahwa Surat al-Ghosyiyah, al-‘Alaq, al-Balad, adh-Dhuha, dan semisalnya adalah surat- surat yang panjang. Maka mustahil terjadi kesamaan persepsi dari setiap manusia.

Baca lebih lanjut