Hukum Suami Membayar Zakat Istrinya

Soal:

Bolehkah suami mengeluarkan zakat mal dengan niat untukku. perlu diketahui bahwa dialah yang memberiku uang? Dan bolehkan zakat diberikan pada anak saudaraku yang ditinggal mati suaminya sementara anak itu berencana untuk menikah, mohon jawabannya.

Jawab:

Kewajibanmu mengeluarkan zakat terhadap hartamu jika telah mencapai satu nisab baik emas atau perak atau lainnya dari harta yang wajib dizakati. Jika suamimu telah mengeluarkan zakatnya sesudah mendapatkan izin darimu maka tidak masalah. Demikian pula jika yang mengeluarkan itu adalah bapakmu, saudaramu, atau yang lainnya setelah ada izin darimu.

Dan diperbolehkan memberikan zakat kepada anak saudaramu jika ia termasuk orang miskin. Semoga Allah memberikan taufiq pada kita semua.[]

Disalin dari Risalah Pilihan, Karya Syekh Bin Baaz, hal. 130-131.

Hukum Asuransi Barang Hak Milik

Soal:

Saya pernah mendengar dari sejumlah orang bahwa seseorang bisa mengansuransikan barang-barang yang ia miliki. Pada waktu terjadi kerusakan barang-barang yang diasuransikan itu, pihak perusahaan asuransi akan membayar ganti rugi bagi barang-barang yang mengalami kerusakan. Saya mohon Syaikh bersedia menjelaskan hukum asuransi. Apakah ada asuransi yang diperbolehkan oleh agama, dan adakah yang terlarang?

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Asuransi, artinya seseorang membayar premi pada setiap bulannya kepada perusahaan asuransi, yang ditujukan untuk mendapatkan jaminan dari perusahaan asuransi tersebutjika terjadi kecelakaan pada barang yang diasuransikan. Teiah diketahui bersama, bahwa nasabah asuransi selalu merugi dalam kondsi apapun. Adapun perusahaan asuransi, terkadang dapat meraih keuntungan, tetapi juga mungkin mengalami kerugian. Maksudnya, jika kerusakan yang terjadi besar, melebihi premi yang dibayarkan nasabah, maka perusahaan menjadi pihak yang merugi. Jika kerusakaan hanya kecil saja, sehingga biaya perbaikan lebih kecil dari nominal yang dibayarkan nasabah, atau sama sekali tidak terjadi kecelakaan, maka pihak perusahaan meraup keuntungan, sedangkan nasabah tak mendapatkan apapun.

Jenis transaksi semacam ini -maksud saya- yang menempatkan seseorang sebagai spekulan, bisa menjadi pihak yang memperoleh keuntungan dan bisa juga mengalami kerugian, termasuk dalam kategori al-maisir (perjudian) yang diharamkan oleh Allah is dalam Kitab-Nya. Allah m telah menyandingkannya dengan pengharaman khamr dan menyembah berhala.

Bertolak dari keterangan ini, maka jenis asuransi tersebut hukumnya haram. Saya belum mengetahui jenis asuransi yang berlandaskan tipu daya yang hukumnya diperbolehkan. Bahkan semua jenis asuransi hukumnya haram berdasarkan hadits Abu Hurairah رضي الله عنه, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم melarang jual beli yang mengandung unsur tipu daya.[1][]

Dikutip dari Fatawa Ulama al Baladil-Haram,
Penyusun: Dr. Khalid bin ‘Abdir-Rahman al-Juraisi,
Cetakan I, Tahun 1420 H – 1999 M, hlm. 661.

Disalin Majalah as-Sunnah Ed. 08 Thn. XI_1428H/2007M, hal.37-38


[1]   HR. Muslim kitabul buyuu’ 1513

Download:
Download Word

Baca pula eBook:
Asuransi Ta’awun VS Asuransi Konvensional

Menggabung Dua Ijtihad

Soal:

Bolehkah kita menggabung pemahaman (ijtihad) mengenai tata cara shalat dari ulama yang berbeda? Contohnya dengan mengambil pendapat Syaikh al-Albani dan Syaikh bin Baz.

‘Abu <1085695003521@berggi.com

Jawab:

Shalat merupakan rukun Islam yang agung. Tata caranya telah dicontohkan Rasulullah صلى الله عليه وسلم, dan kita diperintahkan untuk melakukannya sebagaimana Rasulullah صلى الله عليه وسلم mencontohkannya. Ini disampaikan dalam sabda beliau صلى الله عليه وسلم, yang artinya: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian telah melihat aku shalat”.

Bagi kita yang tidak hidup pada zaman Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak melihat langsung shalat beliau, namun melihatnya melalui riwayat para sahabat yang melihat beliau صلى الله عليه وسلم shalat, kemudian yang telah ditulis oleh para ulama dalam kitab-kitab hadits dan fikih. Memang, terkadang muncul ijtihad para ulama dalam memahami satu riwayat tertentu, sehingga terkesan tata caranya berbeda antara yang satu dengan lainnya.

Maka dalam hal ini, kita harus mengambil pendapat yang rajih dari ijtihad-ijtihad tersebut.

Sehingga dalam keadaan tertentu, mungkin yang dirajihkan pendapat Syaikh bin Baz. Misalnya, dalam hal sedekap ketika i’tidal itu yang rajih, sehingga diambil. Pada keadaan lainnya, seperti ketika turun sujud mendahulukan lutut daripada tangan. Yang dirajihkan Syaikh al-Albani itulah yang rajih, sehingga diambil.[1]

Dari gambaran di atas, jika seseorang mengambil dan menggabung ijtihad-ijtihad tersebut dengan dasar tarjfh, maka insya Allah boleh, karena menjadikan ijtihad ulama sebagai sarana memahami tuntunan Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Dan lagi tidak ada kewajiban mengikuti seorang pun dalam urusan agama ini, kecuali kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم . Oleh karena itu, yang kita ambil ialah yang paling dekat kepada ajaran Rasulullah صلى الله عليه وسلم sesuai dengan kemampuan kita dalam mentarjihnya.[]

Disalin dari Majalah As-Sunnah No.08/Thn.XI 1428H/2007M, Rubrik Soal-Jawab hal.8


[1]   Syaikh al-Albani merajihkan ketika hendak sujud tangan dahulu baru lutut, dan redaksi as-Sunnah tidak bermaksud mengatakan syaikh al-Albani berpendapat sebaliknya. Hal ini dijawab redaksi atas pertanyaan pembaca pada edisi 11 tahun XI_1429H/2008M. Ibnu Majjah

Download:
Download Word

E-Book Fatwa Ulama

Alhamdulillah, selanjutnya shalawat dan salam bagi Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dan juga kepada keluarga, sahabatnya dan yang mengikuti mereka dengan baik hingga suatu yang pasti, amma ba’du

Dihari Jum’at yang mulia ini kami ketengahkan kehadapan pengunjung setia IbnuMajjah.com sebuah eBook yang berisi ratusan fatwa dari ulama-ulama senior yang menjawab berbagai persoalan kehidupan manusia yang ditanyakan kepada mereka.

Isi eBook ini diambil dari http://fatwa-ulama.com/ yang sekarang tidak dapat diakses lagi, untunglah isi website tersebut telah dikumpulkan oleh al akh Abu Said dalam software buatannya SalafiDB, kemudian kami mengestraknya dan mengcompile dalam bentuk ebook CHM.

Kami berharap isi eBook dapat menjawab berbagai permasalahan yang kita hadapi, dan semoga menjadi amal baik bagi para Masyaikh, pencatat, penerjemah fatwa-fatwa ini, amin…

Download:
Download CHM
mirror Download CHM

Alat Musik Dalam Pandangan Ulama Syafi’i

Sebagian orang mengira alat musik itu haram karena klaim sebagian kalangan saja. Padahal sejak masa silam, ulama madzhab telah menyatakan haramnya. Musik yang dihasilkan haram didengar bahkan harus dijauhi. Alat musiknya pun haram dimanfaatkan. Jual beli dari alat musik itu pun tidak halal. Kali ini kami akan buktikan dari [ulama] madzhab Syafi’i secara khusus karena hal ini jarang disinggung oleh para Kyai dan Ulama di negeri kita. Padahal sudah ada di kitab-kitab pegangan mereka.

Terlebih dahulu kita lihat bahwa nyanyian yang dihasilkan dari alat musik itu haram. Al Bakriy Ad Dimyathi رحمه الله berkata dalam I’anatuth Tholibin (2: 280),

بخلاف الصوت الحاصل من آلات اللهو والطرب المحرمة – كالوتر – فهو حرام يجب كف النفس من سماعه

“Berbeda halnya dengan suara yang dihasilkan dari alat musik dan alat pukul yang haram – seperti ‘watr’ -, nyanyian seperti itu haram. Wajib menahan diri untuk tidak mendengarnya.”

Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj Syarh Al Minhaj karya Imam Ibnu Hajar Al Haitami رحمه الله disebutkan ,

ء(طُنْبُورٍ وَنَحْوِهِ ) مِنْ آلَاتِ اللَّهْوِ وَكُلِّ آلَةِ مَعْصِيَةٍ كَصَلِيبٍ وَكِتَابٍ لَا يَحِلُّ الِانْتِفَاعُ بِهِ

Thunbur dan alat musik semacamnya, begitu pula setiap alat maksiat seperti salib dan kitab (maksiat), tidak boleh diambil manfaatnya.” Jika dikatakan demikian, berarti alat musik tidak boleh dijualbelikan. Jual belinya berarti jual beli yang tidak halal.

Baca lebih lanjut

Memanfaatkan Harta Riba

Soal:

Apakah boleh bagi seseorang mengambil sebagian dari harta ayahnya untuk di manfaatkan dalam berdagang, padahal ia mengetahui bahwa ayahnya bekerja-sama dengan Bank-bank riba ?

Jawab :

Imam al-Albani رحمه الله menjawab:

Kewajiban sorang muslim yang telah mencapai usia dewasa adalah berupaya semaksimal mungkin untuk terlepas diri dari pemanfaatan harta riba atau dari memakannya, kecuali dia benar-benar butuh dan dalam kondisi yang sangat darurat. Adapun memperluas pemanfaatan harta yang haram tersebut tidak di perbolehkan. Wallahu a’lam (Majalah al-Ashaalah I, hal : 48)

Sumber :

Biografi Syaikh al-Albani, penerjemah Ustadz Mubarok Bamuallim, Penerbit Pustaka Imam asy-Syafi’i, hal 224-225.

Baca juga:
Kuliah dari Harta Ayah Hasil Riba
Waspada dan Tobat dari Riba
Hukum Jual Beli Mata Uang dan Saham