Untung di Investasikan Wajibkah Zakat?

Soal:

Jika seseorang yang memiliki perniagaan, sudah memiliki investasi yang masuk nishab dan dalam perjalanan mencapai satu tahun dia mendapatkan untung yang banyak, tetapi dia belikan berbagai macam barang seperti tanah, rumah, maupun kendaraan. Kemudian setelah mencapai haul, ternyata harta tersebut sudah tidak sesuai dengan nishabnya. Apakah masih ada kewajiban membayarkan zakat dengan memasukkan tanah, rumah, dan kendaraan yang pernah dibelinya di tahun ini?

Jawab:

Seorang yang memiliki harta satu nishab, dan sebelum sampai haul kedepan, karena mungkin melihat kesempatan misalnya lebih menguntungkan, misalnya tanah atau kendaraan atau yang lain-lainnya dibeli sehingga kurang satu nishab pada haul depannya? Bagaimanakah hukumnya?

Pertama, kalau niatnya adalah lari dari zakat. Karena memang ada sebagian dari manusia yang berjiwa lemah, kemudian setan terlalu berat kepada dia, tujuannya adalah untuk lari dari ketaatan Allah. Semoga penanya tidaklah seperti ini. Maka jika niatnya adalah lari dari zakat, maka hendaklah bila ada pihak yang berwenang memberikan sanksi kepada dia dengan cara sebaliknya tetap ditarik zakatnya.

Tetapi bila dia adalah orang yang taat kepada Allah, dan dia melihat umpamanya untung ruginya terlalu khawatir dengan perniagaannya dan dibelikan tanah. Mobil juga tujuannya hanya untuk dipakai sekarang. Bila tidak tahu, maka tidak ada zakatnya. Untuk yang dibeli ini tidak ada zakatnya dan uang yang kurang satu nishab tadi, dengan tidak sampai haulnya, maka tidak ada zakatnya.

Tapi kalau ketika niat membeli tanahnya ini adalah untuk diperjualbelikan, baru saja dibeli kemudian melihat kesempatan tinggi kemudian dijual. Mobil juga baru dibeli ditawar-tawarkan kepada orang lain maka ini adalah harta perniagaan juga, maka haulnya mengikut haul yang pertama. Ketika sampai haul dari awal uang tadi, maka tanah, mobil, dan investasi lainnya yang ketika dibeli tujuannya adalah untuk dijual lagi, maka dihitung zakatnya walaupun masih berbentuk barang dan ditaksir dan dikeluarkan dalam bentuk rupiah.

Disalin dari web ustadz Dr. Erwandi Tarmidzi, MA dengan judul Zakat 4 yang diposting tanggal 6 Agustus 2013.

Larangan Thiyarah

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr رضي الله عنهما: ia berkata: “Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: ‘Barang siapa mengurungkan niatnya karena thiyarah,[1] maka ia telah berbuat syirik.’ Para Sahabat bertanya: ‘Lalu, apakah tebusan-nya?’ Beliau menjawab: ‘Hendaklah ia mengucapkan:

اللَّهُمَّ لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ وَلَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ

‘Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiadalah burung itu (yang dijadikan objek tathayyur) melainkan makhluk-Mu dan tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau.'”[2]

Tathayyur termasuk adat Jahiliyyah. Mereka biasanya berpatokan kepada burung-burung, jika mereka lihat burung itu terbang ke arah kanan, mereka bergembira dan meneruskan niat. Jika burung itu terbang ke arah kiri, mereka anggap membawa sial dan mereka menangguhkan niat. Bahkan, sebagian mereka sengaja menerbangkan burung untuk meramal nasib.

Syari’at yang hanif ini telah melarang segala macam bentuk tathayyur. Sebab, thair (burung) tidak memiliki keistimewaan apa pun sehingga gerak-geriknya harus dijadikan sebagai petunjuk untung atau rugi. Dalam banyak hadits, Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah menegaskan berulang kali: “Tidak ada thiyarah!” Penegasan seperti ini juga dinuki! dari sejumlah Sahabat رضي الله عنهم.

Baca lebih lanjut

Beli Murah, Jual Mahal

Soal:

Assalamu’alaikum. Ustadz, kalau saya membeli padi pada saat panen (harganya murah) untuk dijual lagi di kemudian hari setelah harganya stabil (harga naik kembali), boleh tidak? Apa dalilnya? Jazakallohu khoiron. (08x71669xxxx)

Jawab:

Wa’alaikumussalam. Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.

Membeli barang di saat harga barang murah atau di musim panen adalah suatu hal yang biasa dilakukan oleh para pedagang. Setelah membeli biasanya mereka tidak segera menjualnya, namun menanti saat yang tepat untuk melakukan penjualan, yaitu ketika permintaan pasar terhadap barang telah membaik, dan harga pun meningkat. Dengan cara ini pedagang bisa memperoleh keuntungan. Bahkan inilah inti dan roh dari perdagangan, membeli dengan harga murah dan menjual dengan harga mahal.

Bila pedagang dilarang membeli dan menyimpan barang di musim panen, maka pelarangan ini tentu menyusahkan masyarakat. Betapa tidak, pada musim panen mayoritas petani menjual hasil tanamnya guna memenuhi kebutuhan mereka. Bila pedagang dilarang membeli kecuali dalam dalam jumlah yang harus ia jual kembali, tentu larangan tersebut menyusahkan kedua belah pihak. Akibatnya, pedagang tidak sudi membeli kecuali dalam jumlah kecil; dan bila ini dibiarkan maka harga barang hasil panen akan semakin hancur. Para petani terus melakukan penjualan, namun pedagang menahan diri dari pembelian. Dan bila kondisi ini telah terjadi, tentu pihak yang dirugikan pertama kali ialah para petani.

Adapun larangan untuk memonopoli atau yang disebut ihtikar, maka maksudnya ialah membeli barang dengan tujuan untuk mempengaruhi pergerakan harga pasar. Dengan demikian, ia membeli dalam jumlah yang (sangat) besar, sehingga mengakibatkan stok barang di pasaran menipis atau langka. Akibatnya masyarakat terpaksa memperebutkan barang tersebut dengan cara menaikkan penawaran. Baca lebih lanjut