Bolehkah Anak Kecil Satu Shaf Dengan Orang Dewasa

Soal:

Assalamualaikum. Saya Muhammad di Medan. Ustadz, di masjid di kampung saya, jika shalat berjamaah maka anak-anak dilarang bershaf atau satu shaf dengan orang-orang yang sudah dewasa. Mereka berasalan, anak-anak itu belum dikhitan. Kalaupun boleh, maka anak-anak itu dibariskan disebelah kiri shaf agar shaf tidak terputus sebab anak-anak tersebut belum dikhitan. Benarkah pemahaman seperti ini? Mohon dijelaskan ustadz! Jazakumullah khairan.

+628227436xxxx

Jawab:

Wa’alaikum salam warahmatullah.

Dalam shalat jamaah, anak-anak diperlakukan seperti jamaah shalat dewasa. Seperti itulah contoh yang diberikan Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Di antaranya, saat Beliau صلى الله عليه وسلم shalat di rumah Anas bin Malik  رضي الله عنه. Anas mengisahkan:

فَقُمْتُ إِلَى حَصِيرٍ لَنَا قَدْ اسْوَدَّ مِنْ طُولِ مَا لُبِسَ فَنَضَحْتُهُ بِمَاءٍ فَقَامَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَصَفَفْتُ وَالْيَتِيمَ وَرَاءَهُ وَالْعَجُوزُ مِنْ وَرَائِنَا فَصَلَّى لَنَا رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ انْصَرَفَ

Maka saya bangkit menuju tikar kami yang sudah menghitam karena sudah lama dipakai, lalu saya perciki air, dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم shalat di atasnya. Saya dan si yatim membuat shaf di belakang Beliau صلى الله عليه وسلم, dan ibu tua di belakang kami. Beliau صلى الله عليه وسلم shalat dua rakaat untuk kami, kemudian pulang. (HR. Al-Bukhari, no. 380 dan Muslim, no. 658)

Tidaklah seseorang itu disebut yatim kecuali jika dia masih anak-anak. Jika dikatakan haditsnya tidak tegas karena Anas bin Malik juga masih kecil, maka dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم menempatkan Anas  رضي الله عنه  di samping kanan Beliau (tidak di belakang), sebagaimana Ibnu Abbas رضي الله عنهما juga pernah diperlakukan begitu. Intinya, Nabi صلى الله عليه وسلم tidak memperlakukan mereka secara khusus.

Al-Khathib asy-Syarbini asy-Syafi’i رحمه الله mengatakan, “Jika anak-anak kecil hadir lebih dulu, mereka tidak boleh dimundurkan untuk kemudian tempat mereka diberikan kepada orang dewasa yang datang kemudian. Begitu pula jika mereka lebih dahulu menempati shaf pertama, mereka lebih berhak menurut pendapat yang lebih kuat.”[1]

Syaikh al-‘Utsaimin رحمه الله  juga menjelaskan, “Mereka tidak memotong shaf. Tidak boleh bagi siapapun untuk menjauhkan mereka dari tempat mereka, sekalipun mereka berdiri persis di belakang imam di shaf pertama.”[2]

Adapun sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم:

لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Hendaklah berdiri di belakang saya orang-orang dewasa, kemudian yang berumur di bawah mereka, dan seterusnya. (HR. Muslim)

Maka maksudnya adalah anjuran kepada orang-orang dewasa agar berlomba-lomba menempati shaf terdepan. Bukan berarti, mereka didahulukan jika datang setelah anak-anak kecil. Ya, tentu orang-orang dewasa didahulukan di atas anak-anak jika mereka datang secara bersamaan.[3]

Di samping itu, mengumpulkan anak-anak kecil dalam satu shaf biasanya memicu kegaduhan di antara mereka.[4] Hal ini bisa sangat mengganggu kekhusyu’an yang merupakan ruhnya shalat. Pengalaman di lapangan juga menunjukkan bahwa kegaduhan anak-anak bisa ditekan jika masing-masing orangtua yang membawa anak ke masjid menempatkan anak-anak mereka di samping mereka.

Sedangkan kekhawatiran adanya najis pada kulup orang yang belum berkhitan sehingga membuat shalatnya tidak sah, meskipun ini adalah pendapat sebagian Ulama, namun Ulama lain berpendapat shalatnya sah. Al-Buhuti mengatakan, “Dan najis di bawah kulup di tempat yang tidak mungkin dihilangkan oleh orang yang belum khitan dimaafkan. Dan setiap najis yang dimaafkan tidak berpengaruh pada batalnya shalat.”[5]

Apalagi jika yang dipermasalahkan adalah anak kecil yang belum baligh.[]

Disalin dari Majalah As-Sunnah Ed. 06 Th. XX_1437H/2016M, Rubrik Soal-Jawab hal.6-7, dengan judul Karena Mereka Belum Khitan?


[1]     Mughnil Muhtaj 1/492.
[2]     Liqa’ al-Bab al-Maftuh 24/106.
[3]     Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz 12/400.
[4]     Liqa’ al-Bab al-Maftuh 24/106.
[5]     Kasyaful Qina’ 1/483.

Tinggalkan komentar